Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jokowi Ingin Pembatasan Perkawinan Dini, ICJR: Delik Perzinaan Dibereskan Dulu

Jokowi Ingin Pembatasan Perkawinan Dini, ICJR: Delik Perzinaan Dibereskan Dulu Kredit Foto: Antara/Kornelis Kaha
Warta Ekonomi, Jakarta -

Institute for Criminal Justice Reform menilai niat baik Presiden Republik Joko Widodo untuk menghapuskan perkawinan anak di Indonesia harus dilakukan menyeluruh dengan mengkaji ulang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Hal itu karena dalam RKUHP potensi untuk terjadinya kawin paksa sangat besar," kata peneliti ICJR Maidina Rahmawati dalam siaran pers di Jakarta, Senin (22/4/2018).

Dia mengatakan delik zina dalam RKUHP adalah delik aduan dan yang dapat mengadu salah satunya adalah orang tua.

"Dengan begitu potensi untuk terjadinya kawin paksa sangat besar apabila dalam kondisi anak sudah berhubungan badan dengan pasangannya dan diketahui oleh orang tua namun menolak untuk dikawinkan," kata Maidina.

Menurut Maidina kebijakan pidana yang berpotensi melanggar hak anak bisa berimplikasi untuk mendorong terjadinya perkawinan anak. Salah satu pasal yang masih menjadi sorotan ICJR adalah perluasan delik Zina, yang dalam Pasal 446 ayat (1) huruf e RKUHP (draft RKUHP versi 8 Maret 2018), mengkriminalkan laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan. Menurut dia, delik ini bisa menjadi delik aduan dimana yang mengadu adalah suami, istri, orang tua atau Anak.

"Karena itu ICJR menilai pasal ini bisa menjerat anak karena pasal tersebut tidak membatasi usia pelaku, dan karena kedua pelaku baik laki-laki dan perempuan dapat dipidana, berarti anak-anak yang berhubungan badan (bersetubuh) keduanya bisa dipidana dengan pidana penjara yang juga terbilang tidak sedikit," kata dia.

Dalam kondisi ini potensi kawin paksa bisa terjadi, karena apabila anak melakukan persetubuhan maka perkawinan bisa dianggap sebagai jalan keluar. Hal ini berkelindan dengan masih tingginya perkawinan anak di Indonesia. Berdasarkan catatan BPS dan Unicef pada 2015 serta Hasil Susenas 2008-2012 dan Sensus Penduduk 2010, beberapa orang tua menikahkan anak perempuan mereka sebagai strategi untuk mendukung kelangsungan hidup ketika mengalami kesulitan ekonomi.

"Hal ini disebabkan karena sebagian besar beranggapan bahwa peran perempuan adalah sebagai istri dan ibu, mereka lebih besar kemungkinannya untuk dinikahkan pada usia muda," kata dia.

Dalam banyak temuan dan laporan lembaga independen, dalam kondisi ini anak perempuan sering dipaksa untuk menikah guna menanggulangi masalah ekonomi keluarga.

Bagi anak perempuan, kenyataan ini justru lebih menyakitkan, karena mereka akan menjadi korban dua kali sebab UU Perkawinan masih mendiskriminasi usia kawin anak perempuan dan anak laki-laki yang berbeda. "Apabila Presiden Joko Widodo benar-benar ingin melakukan revolusi mental dan ingin menghapus perkawinan anak, maka pasal-pasal yang berpotensi untuk melanggengkan perkawinan anak seperti Pasal 446 ayat (1) huruf e RKUHP harus dikaji ulang," kata dia.

Sebelumnya, dalam rangka hari kartini, Pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA ) Yohana Yembise mengatakan akan menyiapkan Perppu untuk mengatasi masalah tingginya angka perkawinan anak di Tanah Air.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: