Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) hingga triwulan I 2018 ini mencapai 1.924,5 megawatt (MW) dari target hingga akhir tahun sebesar 2.058,5 MW.
Dengan kapasitas terpasang tersebut menempatkan Indonesia pada posisi kedua di dunia setelah Amerika Serikat dalam memanfaatkan panas bumi sebagai tenaga listrik, menggeser posisi kedua sebelumnya yang ditempati Filipina.
Saat ini Indonesia memiliki cadangan panas bumi sebesar 17.506 MW dan sumber daya sebesar 11.073 MW. Dengan pemanfaatan yang masih sekitar 11,03% dari cadangan yang ada ini menjadi peluang besar bagi para investor untuk mengembangkan panas bumi sekaligus memenuhi kebutuhan energi nasional.
"Kita patut bangga karena dengan capaian sebesar itu kita melebihi Filipina yang sebesar 1.870 MW. Artinya itu, kita telah menjadi produsen panas bumi nomor dua di dunia," ujar Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (27/4/2018).
Ia menambahkan, penambahan kapasitas itu di antaranya berasal dari PLTP Karaha Unit 1 (30 MW) dan PLTP Sarulla Unit 3 (110 MW, COD 2 April 2018: 86 MW). Sementara itu, akan menyusul pada pada semester kedua di tahun ini PLTP Sorik Marapi Modullar Unit 1 (20 MW), PLTP Sorik Marapi Marapi Modullar Unit 2 (30 MW) \, PLTP Lumut Balai Unit 1 (55 MW), dan PLTP Sokoria Unit 1 (5 MW).
Pemerintah, lanjut Rida, memproyeksikan Indonesia akan menjadi penghasil listrik dari tenaga panas bumi terbesar di dunia pada 2023 mendatang, mengalahkan Amerika dengan kapasitas listrik panas bumi mencapai 3.729,5 MW.
"Pemerintah terus memberikan kemudahan kepada para investor panas bumi melalui pemberian insentif fiskal dan nonfiskal," ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga telah menerbitkan regulasi khusus mengenai panas bumi yaitu Undang-Undang No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak Langsung, serta peraturan-peraturan teknis lainnya.
"Dua regulasi tersebut mengubah mindset lama bahwa pengembangan panas bumi bisa dilakukan di kawasan hutan konservasi karena tidak lagi dikategorikan sebagai usaha pertambangan," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Fauziah Nurul Hidayah