Perusahaan petrokimia asal Korea Selatan, Lotte Chemical Titan, akan melakukan peletakan batu pertama pembangunan pabrik yang memproduksi nafta cracker pada akhir 2018. Pabrik dengan nilai investasi yang rencananya mencapai US$3,5 miliar itu diharapkan dapat mendukung pengurangan impor produk petrokimia hingga 60%.
"Nafta cracker selaku bahan baku petrokimia. Kita memang kurang sehingga masih impor. Tetapi, setelah ini produksi, bisa disubstitusi. Bahkan, pabrik ini juga akan menghasilkan ethylene, propylene, dan produk turunan lainnya. Jadi, kita tidak akan impor lagi," kata Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA), Achmad Sigit Dwiwahjono, dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (19/5/2018).
Hal itu disampaikannya usai mendampingi Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada pertemuan dengan Vice Chairman Lotte Group, Huh Soo Young, beserta delegasinya di Kementerian Perindustrian. Proyek Lotte ini sejalan dengan upaya pemerintah Indonesia yang tengah memprioritaskan akselerasi pertumbuhan industri petrokimia karena memenuhi kebutuhan produksi di banyak sektor hilir.
Sigit menjelaskan, saat ini Lotte masih menyelesaikan proses perizinan terkait pembebasan lahan, pembangunan pelabuhan, dan pengurusan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
"Tanah yang sudah tersedia sekarang seluas 100 hektare, tetapi mereka terus mencari tambahan karena area yang akan dibangun terintegrasi untuk menghasilkan bermacam-macam produk," ungkapnya.
Sigit menilai masuknya investasi industri petrokimia di sektor hulu ini bisa menjadi solusi jangka panjang untuk meningkatkan produktivitas nasional seiring berkembangnya pasar petrokimia di dalam negeri.
"Investasi industri upstream memang sangat besar dan harus terpadu dengan produk turunan karena kalau berdiri sendiri tidak akan ekonomis, pasti gulung tikar," ujarnya.
Pabrik Lotte yang akan dibangun di Cilegon, Banten, ini menargetkan total kapasitas produksi nafta cracker sebanyak 2 juta ton per tahun.
"Apabila pabrik Lotte dan Chandra Asri beroperasi pada tahun 2023, Indonesia bisa mengurangi impor produk petrokimia hingga lebih dari 60%," ucap Sigit.
PT Chandra Asri Petrochemical Tbk juga berencana membangun kembali pabrik pengolah nafta cracker kedua (CAP2) yang menelan investasi senilai US$4 miliar-US$5 miliar. Dengan tambahan investasi Lotte Chemical dan Chandra Asri tersebut, Indonesia bakal mampu menghasilkan bahan baku kimia berbasis nafta cracker sebanyak 3 juta ton per tahun. Bahkan, Indonesia bisa memposisikan sebagai produsen terbesar ke-4 di ASEAN setelah Thailand, Singapura, dan Malaysia.
Sebelumnya, Menperin Airlangga menuturkan sedikitnya ada tiga perusahaan yang telah menyatakan minatnya untuk berinvestasi dalam pengembangan sektor industri petrokimia di Indonesia, yakni PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, Lotte Chemical Titan, dan manufaktur besar Thailand, Siam Cement Group (SCG).
"Mereka akan memproduksi kebutuhan bahan baku kimia berbasis nafta cracker di dalam negeri sehingga nanti kita tidak perlu lagi impor," tegasnya.
Menurut Menperin, Indonesia berpotensi menjadi pusat pertumbuhan industri petrokimia dan akan bisa lebih kompetitif di tingkat ASEAN dengan semakin meningkatnya investasi dan ekspansi dari sejumlah produsen di dalam negeri.
"Ini menunjukkan bahwa Indonesia masih menjadi negara tujuan investasi seiring upaya pemerintah yang terus menciptakan iklim usaha kondusif," ungkapnya.
SCG berencana membangun fasilitas produksi nafta cracker senilai US$5,5 miliar di Cilegon, Banten.
"Pabrik petrokimia yang segera dibangun ini akan memiliki kapasitas produksi 1,2 juta ton per tahun. Investasi ini menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan nilai tambah, hasil produksinya juga untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor," tutur Airlangga.
Kemenperin mencatat nafta cracker dari produksi industri nasional saat ini baru mencapai 900 ribu ton per tahun sementara permintaan dalam negeri sebanyak 1,6 juta ton.
Industri petrokimia ditetapkan sebagai salah satu sektor hulu strategis karena menyediakan bahan baku untuk hampir seluruh sektor hilir, seperti industri plastik, tekstil, cat, kosmetik hingga farmasi. Oleh karena itu, keberlanjutan dalam pembangunan industri petrokimia sangat penting bagi aktivitas ekonomi.
"Dengan sifatnya yang padat modal, padat teknologi, dan lahap energi, pengembangan industri petrokimia perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah," jelas Menperin. (FNH/Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fauziah Nurul Hidayah