Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tiga Sebab Masih Lambatnya Inklusi Keuangan Syariah di Indonesia

Tiga Sebab Masih Lambatnya Inklusi Keuangan Syariah di Indonesia Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Berdasarkan publikasi Global Islamic Finance Report tahun 2016, Indonesia menempati posisi ke-9 sebagai negara yang memiliki aset keuangan syariah terbesar di dunia. Jika dilihat dari jumlah populasi muslim yang signifikan, angka di atas bukanlah prestasi yang cukup membanggakan. Posisi pertama dipimpin oleh Arab Saudi, Iran, dan Malaysia di peringkat ketiga.

Pemerhati ekonomi syariah, Dima Djani, menilai ada tiga hal yang memperlambat penetrasi inklusi dan literasi keuangan syariah di Indonesia jika dibandingkan dengan Malaysia. 

"Pertama, komitmen pemerintah untuk mendukung industri keuangan syariah. Malaysia telah menetapkan kebijakan penempatan dana BUMN dan dana haji di perbankan syariah sejak lama. Sementara Indonesia, dana kelolaan masih terfokus di perbankan konvensional," tutur Dima dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (22/5/2018).

Namun, menurut Dima, sudah mulai ada pergerakan dari pemerintah saat ini dengan membangun KNKS (Komite Nasional Keuangan Syariah) dan memberi dukungan atas terbentuknya beragam lembaga syariah lain, seperti Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), dan Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo).

Kedua, produk dan layanan yang variatif dengan tata kelola liberal. Industri jasa keuangan di Malaysia memiliki varian produk yang luas, mulai dari jasa keuangan sampai pasar modal yang dikelola secara liberal. Artinya, layanan ini terbuka bagi komunitas manapun tanpa memandang latar belakang agama.

"Sementara di Indonesia, industri keuangan syariah masih kental dengan afiliasinya terhadap komunitas muslim dan sebagai pilihan alternatif bagi kelas masyarakat tertentu saja," tutur Dima.

Padahal, lanjut Dima, produk-produk keuangan syariah telah banyak dikenalkan oleh perbankan di negara dengan populasi muslim minoritas seperti Inggris. Di tahun 2014, terdapat 20 bank di Inggris yang menawarkan produk syariah dan terdapat 49 produk sukuk atau obligasi syariah.

Islamic finance di kawasan Barat ini tumbuh mencapai 50% dibandingkan perbankan konvensional. Hal ini menunjukkan, keunggulan dari segi layanan dan model bisnis merupakan daya tarik utama masyarakat untuk menggunakan jasa keuangan syariah, bukan berdasarkan agama.

Ketiga, adaptasi teknologi untuk membuka akses informasi. Teknologi yang bergerak cepat merupakan peluang untuk mengemas produk dan layanan menjadi sebuah kebutuhan yang relevan bagi target pasar. Hal yang sama dilakukan oleh perusahaan fintech di Malaysia yang kini banyak bermunculan dengan fokus bisnis syariah.

"Pemerintah lagi-lagi memegang wewenang yang cukup kuat disini. Regulasi disusun untuk mempermudah fintech syariah bermunculan. Fintech dan perbankan syariah di Malaysia saling koeksis dan membentuk islamic fintech hub yang solid di negara ini. Dampaknya, jangkauan ke masyarakat makin luas, penetrasi produk dan layanan syariah semakin tinggi," urai Dima.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: