Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mantan Menkeu Sebut KPB Semacam Propaganda untuk Tutupi Kepanikan

Mantan Menkeu Sebut KPB Semacam Propaganda untuk Tutupi Kepanikan Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tidak biasanya, tiba tiba saja pada 28 Mei 2018, Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian, BI, OJK, dan LPS menerbitkan Keterangan Pers Bersama (KPB) tentang penguatan koordinasi dan bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas perekonomian dengan menyebutkan kondisi perekonomian Indonesia cukup baik dan kuat.

Mantan Menteri Keuangan, Fuad Bawazier, menuturkan, argumentasi dan pernyataan yang dikemukakan dalam KPB ngambang dan tidak full disclosure sehingga bagi orang yang mengerti ekonomi seketika saja tahu bahwa KPB itu semacam propaganda untuk menutup kepanikan sekaligus mengantisipasi ancaman krisis.

"Bagi saya, ini berarti pemerintah menyadari bahwa ada sesuatu yang serius dalam perekonomian Indonesia yang membuat pelaku pasar gelisah sehingga tidak tradisinya menerbitkan KPB," tutur Fuad dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu (30/5/2018).

Menurut Fuad, paling tidak, dengan cara KPB ini, Pemerintah telah menyeret atau mencoba berbagi tanggung jawab dengan BI, OJK, dan LPS.

KPB itu lebih tepat disebutkan sebagai permainan kata-kata dan kalimat tetapi tidak full disclosure, untuk tidak mengatakan propaganda bohong. Tujuan KPB ini tentu untuk menenangkan masyarakat. 

Bagaimana bukan propaganda bila hal-hal yang paling bermasalah sekarang ini, yaitu defisit transaksi berjalan, dalam KPB ini hanya disinggung (ditutupi?) dengan mengatakannya sebagai berikut “........ defisit meningkat pada triwulan I 2018 menjadi 2,1% dari PDB, tetapi masih lebih rendah dibandingkan triwulan I tahun 2013 ..........”. 

Semestinya, dibandingkan dengan targetnya dan dengan tahun sebelumnya (2017). Begitu pula pertumbuhan ekonomi triwulan I 2018  yang hanya disebutkan tumbuh 5,06%, tanpa perbandingan dengan targetnya (5,4%) ataupun tahun sebelumnya.

Disebutkan bahwa defisit transaksi berjalan tahun 2018 diperkirakan di bawah 2,5% dari PDB sehingga masih aman karena tidak melebihi 3% dari PDB. Argumentasi normatif dan formalitas seperti ini juga biasa digunakan Pemerintah untuk menjustifikasi defisit APBN yang maksimum 3% PDB dan utang negara yang maksimum 60% PDB sesuai UU Keuangan Negara No. 17 Tahun 2003.

KPB juga membandingkan keterpurukan kurs rupiah dengan mata uang Turki dan Brazil, bukannya dengan sesama negara ASEAN. Sedangkan terhadap jatuhnya IHSG di BEI disebutkan sebesar 5,98% masih terkendali dan itu karena keluarnya arus modal asing dari pasar saham. Sayangnya, tidak disebutkan berapa modal asing yang keluar dari pasar saham atau ekonomi Indonesia pada umumnya.

"Jujur saja, kami kasihan atau prihatin pada BI, OJK, dan LPS yang berdasarkan sistem keuangan nasional sekarang ini seharusnya independen, kini dibawa bawa untuk ikut bertanggung jawab pada kondisi perekonomian pada umumnya," tutur Fuad.

Pada saat yang bersamaan, dalam dokumen KPB ini juga disebutkan adanya UU No.9/ Thn 2016 Tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis yang memberikan kewenangan istimewa bagi Pemerintah, BI, OJK, dan LPS bertindak dalam hal terdapat ancaman krisis.

Kewenangan istimewa ini diperkuat atau dipermudah penggunaannya sebagaimana termuat dalam UU APBN 2018 yang juga sudah Fuad kritisi karena mengandung semangat moral hazard yang tinggi.

"Jadi, bukan tidak mungkin atau cukup berdasar bagi kami yang sering mengingatkan bahwa tahun politik identik dengan tahun krisis ekonomi, seperti tahun 1998 dengan skandal BLBI; tahun 2008 dengan skandal Bank Century; dan tahun 2018 dengan skandal 'tanyalah pada ahlinya/pemainnya'," pungkas Fuad.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: