Menghadapi ketidakpastian dan volatilitas yang terjadi di pasar finansial, PT Bahana TCW Investment Management mengatakan agar para investor dapat menurunkan ekspektasi investasi.
Menurut Direktur Strategi dan Kepala Makro ekonomi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, investor sebaiknya menurunkan ekspektasi imbal karena volatilitas pasar yang tak menentu. Pasar obligasi akan lebih menantang sebab valuasinya secara eksternal terakit angka akhir yield T-bond.
"Sementara, potensi kenaikan pasar saham terkait dengan rotasi sektoral yang lebih diuntungkan oleh penguatan dolar, kenaikan harga minyak dan penguatan kualitas infrastruktur serta penguatan daya beli masyarakat," ungkap Budi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (10/7/2018).
Menurut Budi, pasar obligasi masih tertekan dengan aksi jual investor asing sebagai efek membaiknya perekonomian AS dan penguatan dolar AS terhadap mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia. Ia mengungkapkan, adanya arus modal asing yang keluar dari pasar obligasi sekitar US$600 juta untuk pertama kalinya sejak 8 tahun terakhir.
"Tahun lalu, pasar obligasi masih mengalami capital inflow sebesar US$12,5 miliar," imbuh Budi.
Meski demikian, investor lokal dapat mengambil kesempatan untuk berinvestasi di pasar obligasi karena imbal hasil (yield) obligasi semakin tinggi berarti semakin menarik.
Ia mencontohkan, jika yield SUN tenor 10 tahun menjadi 8% per tahun. Artinya, setiap tahun investor akan memperoleh imbal hasil sebesar 8% dalam setahun. Angka ini jelas menarik bagi investor domestik mengingat sangat kecil kemungkinan inflasi per tahun selama 10 tahun mendatang melebihi 8,5%.
Terkait penurunan partisipasi investor asing di pasar modal Indonesia merupakan dampak rebalancing stock pada indeks MSCI. Alokasi untuk emiten Indonesia diturunkan untuk mengantisipasi masuknya emiten dari Cina.
"Memang ini tantangan bagi pemerintah, mengingat bursa China menawarkan growth selain likuiditas. Itu sebabnya pemerintah harus memacu pertumbuhan. Bila ini berhasil, maka ini merupakan opportunity bagi investor domestik memanfaatkan valuasi yang lebih murah," ujar Budi.
Di tengah penguatan ekonomi global, investor dikejutkan oleh target pengenaan tarif terhadap produk ekspor China dan penjegalan perusahaan teknologi China di Amerika Serikat yang dilakukan presiden AS Donald Trump. Hal ini memicu kecemasan investor akan adanya konflik yang luas dan berkepanjangan terkait perebutan hegemoni kekuasan perang antara AS dan Cina.
Itu sebabnya, pasar modal dan nilai tukar khususnya di negara berkembang bereaksi negatif ketika pemerintah China melemahkan mata uang yuan, setelah melonggarkan likuiditas. Pelemahan Yuan dianggap sebagai langkah sengaja melakukan competitive devaluation guna mempertahankan ekspor China setelah terkena hambatan tarif. Dampaknya, sebagian besar mata uang negara berkembang terus mengalami pelemahan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: