Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang saat ini tengah dibahas di DPR dinilai bertentangan dengan UU No. 3 Tahun 2014 tentang perindustrian. Melalui UU tersebut, pemerintah mendorong pertumbuhan kawasan-kawasan industri di berbagai wilayah. Namun, keberadaan RUU SDA justru memberatkan pelaku industri baik besar, kecil, dan menengah untuk dapat bertumbuh.
Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI), Sanny Iskandar, menuturkan, UU Perindustrian menyebutkan industri manufaktur baru wajib berlokasi di kawasan industri.
"Di lain pihak, pemerintah wajib menyediakan sarana prasarana dasar untuk kegiatan industri, dalam hal ini suplai air baku untuk keperluan industri," tutur Sanny dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (23/7/2018).
Berdasarkan catatan Apindo, terdapat tiga masalah utama yang dinilai kalangan usaha bisa memberikan dampak negatif dari lahirnya UU tersebut. Dalam RUU itu, terdapat pasal-pasal pungutan terhadap dunia usaha dalam bentuk bank garansi dan kompensasi untuk konservasi sumber daya air minimal 10% dari laba perusahaan.
Kedua, dalam RUU tersebut belum memiliki orientasi perbedaan yang jelas tentang kewajiban negara dalam menyediakan air bersih dan air minum untuk masyarakat, sekaligus kewajiban negara dalam membangun perekonomian yang memajukan masyarakat dunia usaha.
Kemudian, arah dari RUU Sumber Daya Air tersebut tidak mengedepankan perlindungan sumber air.
Menurut Sanny, turunan dari UU Perindustrian adalah PP No. 142 Tahun 2015 tentang kawasan industri yang menyebutkan kawasan industri wajib menyediakan sarana dan fasilitas, di antaranya instalasi pengolahan air bersih dan pengolahan air limbah.
"Artinya, pemerintah harus dapat menjamin ketersediaan air berikut instalasi pengolahan air limbah," tutur Sanny.
Pengolahan air bersih dan juga pengolahan air limbah adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebab, dalam menjalankan proses produksinya kawasan industri harus mendapatkan air baku yang kemudian disalurkan ke pabrik. Pabrik sendiri menghasilkan air limbah yang harus diolah dahulu dengan instalasi pengolahan air limbah milik kawasan untuk selanjutnya dibuang ke permukaan sungai.
Bila RUU SDA nantinya disahkan tanpa mempertimbangkan aspek-aspek industri, dikhawatirkan akan ada pembatasan quota air yang tentunya sangat berdampak terhadap keseluruhan proses industri.
"Yang ingin kami soroti, di dalam RUU SDA terdapat kecenderungan membatasi air baku bagi kawasan industri. Hal itu sangat tidak sesuai dan bertentangan dengan UU Industri maupun PP no 142 tahun 2015 tentang kawasan industri," tegas Sanny.
Menurut Sanny, industri-industri baru pun akan kesulitan mengajukan permohonan air baku untuk kebutuhan mereka. Jelas pertumbuhan indsutri di Indonesia akan terhambat.
Apindo juga menyayangkan pembahasan RUU SDA yang tidak melibatkan Kementerian Perindustrian. Sementara, pasal-pasal dalam RUU tersebut banyak bersinggungan dengan pelaku industri. Jika dibandingkan dengan pertanian dan rumah tangga, kawasan industri hanya menggunakan 2% sumber daya air dari total konsumsi yang ada.
Tri Junanto yang mewakili Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) juga mengatakan para pelaku industri makanan dan minuman jelas akan kesulitan dengan penerapan RUU SDA ini. Perlu diingat, industri makanan dan minuman berkontribusi 30% GDP dan menyerap 4 juta tenaga kerja.
"Bisa dibayangkan, RUU SDA nantinya akan mempersempit gerak industri, penurunan GDP serta dampak langsung terhadap masyarakat adalah berkurangnya penyerapan tenaga kerja, ujar Tri Junanto.
Sebelumnya, Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, mengatakan melalui RUU SDA ini, maka pengusahaan SDA akan mengutamakan BUMN/BUMD. Perusahaan swasta baru bisa masuk jika kebutuhan untuk masyarakat sudah terpenuhi, baru jika masih ada sumbernya, bisa swasta masuk dengan syarat dan pengaturan ketat," kata Basuki di Gedung DPR RI, Rabu (18/7/2018). Dia juga menjelaskan, bahwa pengaturan swasta untuk bisa berinvestasi di air minum ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan dari UU SDA yang baru.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: