Para pelaku industri TPT China menjadikan Vietnam, Myanmar, Kamboja, dan Malaysia sebagai negara tujuan "eksodus". Hal ini dikarenakan sulitnya mencari tenaga kerja kasar dan murah di negeri itu sebagai dampak kebijakan satu keluarga satu anak. Indonesia pun berpeluang menggantikan dominasi "Negeri Tirai Bambu".
Berbicara tentang industri tekstil dan produk tekstil (TPT), tidak akan pernah bisa melewatkan peran dan kiprah China di dalamnya. Dengan penguasaan pangsa pasar hingga 36% di sektor tekstil dan 39% di sektor garmen, China tak terbantahkan lagi menjadi kekuatan terbesar TPT dunia setidaknya lebih dari 20 tahun. Di bawahnya, baru ada nama Uni Eropa (UE), India, Amerika Serikat (AS), dan Turki.
Sementara untuk perwakilan dari Asia Tenggara ada Vietnam sebagai negara dengan pangsa pasar terbesar di sektor garmen dengan penguasaan sebesar 6,6%. Indonesia sendiri dalam beberapa tahun terakhir masih cenderung stagnan dengan penguasaan tak lebih dari 2%. Bahkan, angka 5% masih menjadi angan-angan yang coba ditargetkan pemerintah untuk dapat dicapai pada tahun 2020 mendatang.
Namun dengan pemetaan industri semacam itu, bukan berarti Indonesia sama sekali tidak memiliki bargaining dan potential darling untuk dapat dilirik dalam kancah persaingan industri TPT internasional. Salah satunya, fakta bahwa Indonesia adalah satu dari tiga negara di dunia yang memiliki industri TPT yang lengkap dan terintegrasi dari hulu hingga hilir. Dua negara lagi yang memiliki kekuatan tersebut adalah China dan India.
Faktor lain adalah ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berlimpah. Hal ini menjadi kebutuhan krusial bagi industri TPT di mana pun juga. Oleh karenanya, ketika ada pihak-pihak yang menyebut bahwa industri TPT saat ini semakin tidak lagi membutuhkan tenaga kerja yang berlimpah seiring dengan automatisasi, tudingan itu bisa dipastikan salah besar.
Industri tekstil, terutama di sektor hilir seperti garmen dan semacamnya, sangat membutuhkan campur tangan manusia dalam proses produksinya. Ini karena produk garmen memiliki varian model yang sangat beragam, yang tidak mungkin dan justru tidak efektif bila diproduksi menggunakan mesin secara massal. Ada ribuan atau bahkan jutaan model baju yang memiliki detail pengerjaan yang berbeda satu sama lain, dan harus diproduksi secara bersamaan.
Jika per satu varian model tersebut diproduksi dengan satu mesin, bisa dibayangkan berapa banyak mesin yang dibutuhkan dalam waktu bersamaan? Berapa banyak energi listrik yang dikonsumsi dan harus dibayar? Berapa luas pabrik yang dibutuhkan untuk menempatkan mesin-mesin itu?
Dengan penjelasan tersebut, tak terbantahkan lagi bahwa pasokan tenaga kerja mutlak dibutuhkan bagi industri TPT. Kendala inilah yang kini tengah dihadapi oleh para pelaku industri TPT di China, yaitu semakin sulitnya mendapatkan pasokan tenaga kerja yang memadai di dalam negeri. Kita ingat pemerintah China dulu pernah berusaha mengerem laju pertumbuhan penduduk dengan kebijakan tiap keluarga hanya boleh memiliki satu anak. Kini mereka merasakan dampaknya.
Selain jumlah tenaga kerjanya sendiri yang sudah terbatas, dengan hanya satu anak per keluarga maka rata-rata tingkat pendidikannya cukup tinggi. Dengan begitu profesi yang dipilih pun tentu jenis-jenis profesi dengan tingkat penghasilan tinggi. Artinya, semakin jarang yang mau menjadi buruh di pabrik tekstil.
Dengan penjelasan di atas, jangan heran bila dalam beberapa waktu terakhir tiba-tiba muncul kekuatan baru di kancah industri TPT dunia. Sebut saja Vietnam, Sri Langka, Bangladesh, Kamboja, upcoming Myanmar, dan Malaysia yang belakangan bisa dianggap cukup kuat. Para penggerak industri TPT di negara-negara tersebut bukan datang dari pengusaha lokal mereka sendiri. Mereka adalah para pengusaha China yang terpaksa "bermigrasi" untuk mendapatkan pasokan tenaga kerja demi terus beroperasi. Dengan kata lain, industri TPT China bisa disimpulkan saat ini telah masuk dalam fase sunset industry.
Sedangkan di Indonesia, situasinya serba berkebalikan. Pasokan bahan baku yang memadai, ketersediaan infrastruktur yang juga mencukupi, sampai tenaga kerja yang berlimpah dengan standar gaji yang relatif masih bersaing dibanding negara-negara lain. Semua alasan itu membuat kami di PT Pan Brothers Tbk penuh optimisme.
Lewat persiapan yang matang, kerja sama dari semua pihak, dan juga dukungan dari pemerintah industri TPT Indonesia pada tahun 2030 mendatang bakal dapat menggantikan China sebagai penguasa baru di level dunia. Tidak seperti negara-negara lain yang bergantung dari kekuatan investasi asing, industri TPT Tanah Air sepenuhnya mandiri dengan para pemainnya datang dari anak negeri.
Tidak perlu masing-masing pelaku usaha ini harus menguasai bisnis mulai hulu hingga hilir karena investasi yang dibutuhkan menjadi sangat tinggi. Yang diperlukan adalah kemauan untuk saling bersinergi. Ada yang fokus di sektor hulu, ada yang concern di bisnis hilir.
Butuh komitmen kuat untuk saling mendukung agar bisnis masing-masing dapat sustainable. Bukan hanya komitmen jangka pendek dan lalu selesai ketika tawaran dari pembeli luar negeri lebih menarik. Komitmen harus dibangun jangka panjang untuk kepentingan bersama di level nasional. Termasuk juga dengan Serikat Buruh. Hal utama yang kami terapkan adalah saling percaya dan saling terbuka. Setiap ada keluhan dari buruh maka harus sampaikan pada kami selaku pengusaha.
Sebaliknya, buruh juga harus mau memahami situasi dari sudut pandang pengusaha. Semua berkolaborasi seperti satu keluarga, seperti orang tua dan anak. Riak-riak dan dinamika tentu akan selalu ada. Namun semua itu pada akhirnya mendewasakan industri ini ke depan. Pemahaman ini yang saat ini sedang kami terapkan dan kembangkan di kalangan asosiasi di antara sesama pelaku industri.
Dukungan dari pemerintah sejauh ini sudah cukup maksimal. Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, industri TPT telah diakui sebagai salah satu industri prioritas dengan daya serap tenaga kerjanya yang relatif besar, meski sumbangan terhadap PDB masih di bawah sektor tambang, sawit, dan yang lain. Yang kami butuhkan ke depan adalah konsistensi dari dukungan pemerintah itu sendiri. Kami telah merasakan sejak "badai" tahun 1997 lalu terjadi, perlakuan pemerintah atas industri ini sempat pasang surut, yang membuat kami cukup challenging dan kebingungan untuk berinvestasi lebih jauh.
Salah satu yang masih terasa memberatkan adalah daya dukung dari sektor perbankan yang masih sangat kurang. Entah kenapa sedari dulu perbankan Tanah Air terlanjur terjebak pada asumsi mereka sendiri bahwa industri tekstil dan garmen merupakan sunset industry yang high risk. Bukan membantu kami untuk terus tumbuh atau setidaknya bertahan dari sekian banyak tantangan luar negeri, pola pandang perbankan tadi malah menjadi tekanan tersendiri.
Karena itu, setiap membutuhkan investasi dan berkomunikasi dengan pihak bank, kami selalu sampaikan pada mereka: percayalah pada kami atau jangan pernah kucurkan pinjaman Anda pada kami. Bagi kami, komitmen yang setengah-setengah justru akan menyusahkan. Industri ini butuh investasi jangka panjang, butuh rasa saling percaya dan saling mendukung.
Maka bila perbankan tidak masuk dalam kriteria itu: it's okey and I'll keep going. We will keep going.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Taufan Sukma
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: