Sebagai bank yang punya size menengah dan sejarah panjang dengan segmen UKM, termasuk koperasi, Bank Bukopin terus memperkuat positioning di segmen ini. Namun di sisi lain, bank yang masuk kategori BUKU III ini juga tengah menggeliat agar bisa naik kelas. Segmen lain, seperti mikro, konsumer, dan komersial terus dipoles untuk mendulang kinerja perusahaan.
Salah satu bentuk polesan itu ada pada bisnis komersial. Ini ditandai lewat peluncuran layanan Flexy Bill atau pembiayaan dana talangan kepada pengusaha produktif terkait kewajiban pembayaran listrik nasabah kepada PLN yang nilainya sudah lebih dari Rp250 miliar. Dipercaya, jurus ini bakal menjadi gerbang mereka dalam menawarkan produk-produk lain sekaligus menyeleksi calon nasabah potensial, serta meminimalkan terjadinya praktik side streaming.
Setelah sempat melakukan restatement laporan keuangan tahun buku 2016 dan 2017, Bank Bukopin menyadari bahwa big is not always beautiful. Bank yang besar di aset, namun di sisi kualitas atau rasio lainnya kurang, buat apa? Dengan kondisi tersebut, perusahaan mencoba mendesain produk andalan yang bisa meningkatkan yield dan profitabilitas.
Targetnya, dalam satu tahun hingga 1,5 tahun ke depan mereka bakal kembali ke level profitabilitas di tahun 2016. Kuncinya, meningkatkan efisiensi baik sisi proses bisnis maupun produk agar BOPO dapat ditekan hingga di bawah 85%.
Yang menarik disimak juga, seperti apa arah pertumbuhan Bukopin ke depan pasca-masuknya Kookmin Bank sebagai investor baru? Bank asal Korea ini mempunyai core competence di bisnis UKM dan mortgage. Bank Bukopin tentu bisa me-leverage kemampuan mereka dengan memanfaatkan kekuatan investor baru tersebut, entah dalam bentuk ATM (amati, tiru, dan modifikasi) atau langsung mengadopsi produk jadi.
Terakhir, komposisi kepemilikan saham bank ini yang tidak ada satu pun pemilik saham mayoritas mencerminkan best practice di dunia. Seperti apa manajemen perusahaan bakal menjalankan strateginya ke depan? Wartawan Majalah Warta Ekonomi, Heri Lingga, Yosi Winosa, dan Agus Aryanto mewawancarai Direktur Utama PT Bank Bukopin Tbk, Eko R Gindo, pertengahan Juli lalu. Berikut kutipan wawancaranya.
Jadi, apa visi yang terbayang saat awal Anda menduduki kursi nomor satu di Bukopin?
Karir saya di Bukopin dimulai dari direktur keuangan. Saya lihat bahwa Bukopin merupakan satu dari sedikit bank yang bertahan sejak krisis tahun 1998. Mungkin karena kultur yang ada di bank ini sudah sangat kuat mengakar. Ketika diminta menjadi direktur utama, tugas saya adalah memperkuat apa yang sudah berjalan baik dan memperbaiki apa yang lemah di sini. Maksudnya agar pekerjaan bisa lebih efektif tanpa perlu lagi dilakukan perombakan besar-besaran.
Saya lihat, Bank Bukopin ini arahnya sudah bagus untuk menjadi bank ritel, bukan bank universal. Dengan kondisi rasio pembiayaan UMKM hampir 40% dari total kredit yang ada, agak lucu dengan size sebesar itu bank ini memilih jadi investment, corporate banking, atau transactional banking. Selain sektor UMKM, yang tengah kami leverage saat ini adalah remodeling bisnis mikro dengan swamitra. Bank Bukopin juga terus melakukan kerja sama dengan koperasi sekaligus memberikan pelatihan.
Sebagai bank BUKU III, segmen lain juga perlu diperkuat. Di luar segmen UMKM dan mikro tadi, kami juga melihat peluang tumbuh di sektor konsumer cukup tinggi, misalnya pada pembiayaan kendaraan bermotor. Kami punya anak usaha yang bermain di segmen pembiayaan otomotif, yaitu Bukopin Finance. Saat ini kami perkuat posisinya melalui sinergi dengan perusahaan di Grup Bukopin, yaitu Bank Bukopin dan Bank Syariah Bukopin. Dengan sinergi ini, proses kredit kendaraan bermotor yang masuk lewat Bank Bukopin maupun Bank Syariah Bukopin akan diteruskan ke Bukopin Finance karena memang mereka lebih expert dan mereka juga sudah sering joint financing.
Selain kredit kendaraan bermotor, kami juga terus memperkuat segmen pembiayaan perumahan. Kami siapkan remodeling juga supaya bisa bersaing di kalangan industri perbankan.
Terakhir, segmen komersial. Ini unik karena ada sedikit perubahan mindset bagaimana kami melayani nasabah segmen ini. Dulu kami lebih fokus ke yang sifatnya cash loan, seperti KI dan KMK. Sekarang, kami coba semaksimal mungkin tepat sasaran. Dua bulan lalu, kami launching Flexy Bill. Ini merupakan layanan pembayaran listrik untuk pelanggan komersial. Untuk produk ini, kami kenakan fee karena transaksinya ini berupa jaminan pembayaran. Hal Ini juga sekaligus memberi kepastian bahwa pembiayaan yang kami berikan sudah tepat sasaran. Pasalnya, saya sangat percaya kalau 70% penyebab kredit bermasalah adalah side streaming-- terjadinya perbedaan antara penggunaan riil pembiayaan yang diberikan dengan rencana awal. Flexy Bill mengeliminiasi hal-hal tersebut.
Tiga segmen tadi, termasuk Flexy Bill, apakah akan jadi engine growth perusahaan ke depan?
Betul. Kami harus terus melakukan inovasi karena tantangan yang dihadapi perbankan semakin beragam. Khusus untuk Flexy Bill, untuk tahun ini pembiayaan melalui Flexy Bill ditargetkan bisa mencapai Rp800 miliar sampai Rp1 triliun karena kebutuhannya memang besar, mulai dari industri perhotelan, mal, hingga manufaktur.
Untuk nasabah korporasi besar, tagihan listrik bulanannya bisa mencapai Rp5 miliar hingga Rp30 miliar lho. Rata-rata perusahaan manufaktur tagihan listriknya relatif memang cukup besar, seperti semen, teksil, dan lain-lain. Dan mereka tidak boleh terlambat membayar tagihan listrik. Begitu kami perkenalkan produk Flexy Bill, sebagian besar nasabah kami sudah menyatakan berminat untuk apply.
PLN juga menjamin kalau ada kegagalan bayar mereka akan kerja sama dengan kami memberikan peringatan. Melalui produk ini, nasabah tentu diuntungkan karena cashflow-nya dapat dikelola secara lebih produktif. Pada tahap berikutnya, mereka diharapkan dapat meningkatkan kapasitas produksinya. Secara tidak langsung tentu ini juga bagus buat PLN karena dengan peningkatan kapasitas, pelanggan akan semakin berpeluang untuk melakukan penambahan daya.
Bagi kami, dari nasabah Flexy Bill ini secara tidak langsung Bukopin juga bisa mendapatkan daftar nasabah potensial untuk cross selling. Menariknya lagi, kita tidak minta kolateral untuk nasabah Flexy Bill. Kami akan pelajari prospek usaha nasabah. Secara logika, kalau ada perusahaan yang tagihan listriknya sampai Rp20 miliar sebulan, tentu mereka serius mengelola bisnisnya.
Soal side streaming tadi, bagaimana Anda mengidentifikasinya?
Kami mempunyai tiga prinsip berkaitan dengan pemutusan kredit bagi segmen komersial: (1) willingness to pay (kemauan membayar), (2) ability to pay (kemampuan membayar), dan (3) collateral (agunan).
Pertama, kemauan (willingness) itu lebih penting, kami sebutnya integritas. Pemeriksaan ini bisa dilakukan lewat bank checking untuk mengetahui track record-nya. Cara lain lewat trade checking, kami kontak supplier dari calon nasabah. Bisa pula melalui community checking. Kalau dia perusahaan kelapa sawit, kami sounding ke pemain kelapa sawit lain karena kami bukan expert di industri tersebut. Cara terakhir dengan memanfaatkan social media checking. Cari saja di Google siapa owner-nya, sedang bermasalah dengan pajak dan proses peradilan masih berlangsung atau tidak. Tentunya jika owner sedang bermasalah dengan pajak tadi, bank akan kerepotan ke depannya. Kami juga akan menggandeng mitra untuk big data yang intinya untuk keperluan validasi.
Kedua, baru kita lihat ability (kemampuan). Ability ini soal numbers analisis keuangan, mutasi rekening koran, penjualan, dan market share kelayakan proyeksi nasabah, realistiskah di tengah market yang seperti ini. Ketiga, baru kami lihat agunan (collateral)-nya. Saat willingness dan ability sudah kuat, collateral tidak terlalu kita lihat. Jadi, posisinya Flexy Bill yang kita analisis hanya memakai dua prinsip tadi, tanpa collateral.
Baru-baru ini, Anda berhasil menggaet Kookmin sebagai investor, bagaimana ceritanya itu bisa terjadi?
Jadi waktu itu kami sampaikan ke OJK bahwa kami akan melakukan right issue. Kami hanya mempunyai waktu dua bulan untuk mencari investor. Sampai akhir Juni, kami dapat standby buyer Kookmin nomor satunya di Korea Selatan dengan harga premium di atas pasar.
Kenapa mereka (Kookmin) mau? Ya karena kita punya value. Saya ceritakan filosofi Bukopin ke depan. Dua setengah bulan saat pertemuan awal, kami paparkan rencana untuk merilis Flexy Bill. Belakangan mereka kaget karena dalam waktu dua bulan produk tersebut sudah dipasarkan. Artinya, dalam waktu relatif singkat kami dapat meng-create produk baru dengan result dan sistem yang jelas.
Dengan kata lain, pada saat berbicara, kami tentu harus mampu men-deliver filosofi tadi. Belakangan, Kookmin sampaikan ke saya bahwa mereka mendukung tim manajemen saat ini. Mereka membeli 22% saham Bukopin dengan harga Rp570 per lembar, padahal harga market kami kala itu Rp350 per saham. Yang perlu saya tegaskan, semua proses tersebut berlangsung secara transparan.
Sebenarnya apa "keindahan" Bukopin yang dilihat oleh Kookmin, dan akankah ada warna baru nantinya?
Seperti yang sudah disampaikan tadi, saya kira kekuatan Bank Bukopin ada di value. Saat ada masalah, kami akui, tidak ditutup-tutupi. Kami jelaskan masalah itu secara clear dan gentle. Ini menunjukkan kalau governance kami bagus.
Kookmin itu ibarat supermarket: best practice, best technology, best risk management, dan best product. Kookmin adalah bank terbesar nomor 60 di dunia. Tentu mereka mempunyai sistem yang andal. Itulah kenapa saya optimistis mortgage KPR bisa segera di-launching. Saya juga ingin lihat mortgage mereka seperti apa. Jadi, kembali lagi ke prinsip ATM (amati, tiru, dan modifikasi)-lah.
Jika dilihat, Bukopin tidak mempunyai pemegang saham mayoritas, bukankah itu jadi ambigu?
Nah bank ini kan unik, tanpa ada pemegang saham mayoritas. Justru ini menjadi tantangan tersendiri untuk direksi. Bank ini sudah merepresentasikan international best practice loh. Jadi, kontrol bank ini sebetulnya ada di BOD dan BOC. Di industri perbankan, ada regulator yang secara intens memonitor pelaksanaan governance BOD dan BOC. Jadi kalau bank ini tidak bagus, tanggung jawab utama tentulah di manajemennya. Jadi memang ketegasan regulator di bank itu sangat mumpumi dan melindungi pelaku bisnis, termasuk manajemen.
Soal governance tadi, bagaimana menepis jika seandainya ada intervensi?
Jadi, direktur utama di sini punya limit kewenangan persetujuan biaya dalam jumlah tertentu yang cukup strategis. Untuk limit yang lebih tinggi lagi, harus melalui persetujuan dewan komisaris. Di sinilah sebetulnya bahayanya kalau terjadi penyalahgunaan wewenang, kalau terpeleset bisa bahaya.
Tetapi, pada saat direksi membuat program-program kerja, misalnya program marketing yang dirancang dengan tujuan memberikan nilai tambah ke perusahaan, meningkatkan value, di sini kami biasa membuat program dan membahasnya bersama direksi lain. Kami sama-sama berpikir program apa ini, value-nya bagaimana. Kalau setuju semua, tanda tangan, langsung bisa jalan.
Dengan tidak adanya pemegang saham mayoritas, otomatis dirut bisa memiliki full power ibaratnya. Tentu saja, kalau digunakan untuk hal produktif, dengan cepat bank ini bisa melaju. Yang juga penting adalah budaya, ini harus dibangun. Terutama budaya di direksi yang sangat critical, yakni keterbukaan. Jangan sampai ada satu agenda pun yang tidak dibahas di rapat BOD.
Lalu, kami juga harus cegah hal-hal yang sifatnya bilateral, meng-approach secara pribadi. Setiap hari Senin saya fasilitasi ruang bicara antar-BOD. Saya tutup semua peluang "lobi setengah kamar" karena di situlah dimulainya hal-hal tidak produktif.
Jika, industri perbankan ini dipimpin oleh orang yang tidak good corporate governance (GCG) dan intens-nya negatif, ya jeblok pasti. Sikap ini pun kami implementasikan sampai ke level bawah. Kami sudah buat pemisahan fungsi antara sales dan proses. Dulu, dua fungsi ini dalam satu ruangan, sekarang ada kami buat dual control. Sales jualan, tim independen bakal memeriksa performa mereka sehingga mereka bisa lihat dengan kacamata yang benar sesuai dengan arahan ke depan Bukopin. Ya memang inilah proses.
Sempat diintervensi pemegang saham tertentu?
Dengan komposisi pemegang saham yang relatif merata, praktis sangat sulit bagi salah satu pemegang saham untuk mencoba melakukan intervensi. Pertanyaannya apakah ada pemegang saham tertentu yang diistimewakan atau dibela secara khusus oleh manajemen? Saya jamin manajemen akan memperjuangkan kepentingan seluruh pemegang saham. Prinsipnya, kami hormati semua pemegang saham yang ada, termasuk juga pemerintah.
Langkah-langkah tadi pasti menuju sebuah target. Target itu apakah Bukopin berhasil naik kelas atau kredit sehat?
Untuk target jangka pendek (1—1,5 tahun), kami akan berupaya bisa kembali lagi ke level profitability seperti di tahun 2016--saat kondisi pasca-dilakukan restatement. Target satu tahun ini juga terbilang ambisius karena rasio efisiensi Bukopin masih belum bagus. Jadi, tahun ini adalah kesempatan kami melakukan efisiensi.
Kami dudukkan lagi setiap proses yang ada. Kami menargetkan untuk dapat menekan rasio biaya operasional pendapatan operasional (BOPO) menjadi di bawah 85% dalam kurun waktu setahun ke depan.
Apa strategic goal Bukopin dalam jangka panjang?
Kami ingin bank ini bisa menjadi bank terbaik di kelasnya. Saya tidak terlalu ambisius untuk membawa Bank Bukopin jadi bank BUKU IV. Yang penting, dalam jangka panjang, kami harus menjaga agar bank ini dapat tumbuh berkelanjutan, terus meningkatkan competitiveness menghadapi derasnya tren fintech dan kompetisi global, dan yang tak boleh dilupakan adalah lembaga ini harus senantiasa dapat memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: