Perusahaan BUMN pertambangan mencatatkan momen penting. Pasca-holdingisasi BUMN Pertambangan menjelang akhir tahun 2017, baru-baru ini menapakkan langkah baru untuk meningkatkan kepemilikan saham pada PT Freeport Indonesia. Itulah bagian dari langkah, satu demi satu, mencapai tujuan pembentukan holding BUMN Pertambangan.
Terlepas dari hiruk-pikuk meningkatkan penguasaan di Freeport Indonesia, tujuan lain pembentukan holding ini adalah meningkatkan hilirisasi pertambangan yang dikuasai oleh pemerintah. Hilirisasi memang isu klasik, tapi inilah kunci dari pertambangan BUMN agar dapat memberikan kontribusi yang semakin besar kepada semua stakeholder. PT Bukit Asam Tbk, PT Antam Tbk, PT Timah Tbk, dan PT Freeport Indonesia tidak hanya sekadar melakukan hilirisasi untuk memenuhi arahan dari pemerintah, tapi harus dapat melihatnya sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja yang lebih panjang.
Direktur Utama Antam, Arie Prabowo Ariotedjo, mengenang saat adanya larangan ekspor bahan mentah yang dikeluarkan tahun 2014. Dampaknya saat itu memang langsung merugi. Ia menuturkan untuk ke depan tidak akan berdampak ekstrem seperti itu karena perseroan sudah menyiapkan langkah-langkah hilirisasi.
"Rencananya kalau smelter ini jadi, tentu akan sangat mendongkrak pada (sektor) pendapatannya Antam," kata Dirut Antam.
Perseroan ini memulai proses pembangunan pabrik feronikel Halmahera Timur pada tahun 2017. Proyek Pembangunan Pabrik Feronikel Haltim (P3FH) merupakan wujud implementasi rencana strategis perseroan dalam hilirisasi sejak pabrik feronikel pertama (FeNi I) beroperasi tahun 1976, FeNi II di tahun 1995, FeNi III di tahun 2007, dan pengembangan FeNi I yang dikenal dengan Proyek Perluasan Pabrik Feronikel Pomalaa (P3FP). Adapun P3FH akan mendukung kapasitas produksi feronikel tahunan perseroan menjadi 40.500—43.500 ton nikel dalam feronikel. Kapasitas pabrik ini mampu memproduksi sebanyak 13.500 nikel dalam feronikel per tahunnya. Sampai saat ini masih dalam tahap konstruksi. Rencananya tahap konstruksi akan selesai pada akhir tahun 2018.
Perseroan juga melakukan hilirisasi untuk bauksit. Antam akan membangun pabrik Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) yang bekerja sama dengan PT Inalum (Persero). Pabrik tersebut akan berkapasitas satu juta ton SGA per tahun untuk tahap pertama. Pengoperasian smelter ini akan mengolah cadangan bauksit Antam yang ada sehingga Inalum akan memperoleh pasokan bahan baku aluminium dari dalam negeri. Alhasil ketergantungan terhadap impor aluminium akan semakin menipis.
PT Timah melakukan hilirisasi lewat kerja sama dengan Yunnan Tin Group pada 2017 silam. Dua produknya adalah tin chemical dan tin solder. Penjualan produk tersebut mengalami peningkatan signifikan. Volume penjualan tin chemical pada tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 5.270 ton atau naik sebesar 161,54% dari tahun sebelumnya yang menyerap 2.015 ton saja. Satu produk lainnya, tin solder juga penjualannya naik 1.078 ton atau naik 132,83% dari tahun sebelumnya.
PT Timah melalui PT Timah Industri dalam melakukan hilirisasi. Anak perusahaan ini bergerak dalam bidang industri kimia tin based tin chemical. Tin based tin chemical adalah stabilisator panas (heat stabilizer) yang paling baik untuk penggulungan, pembentukan, dan penyuntikan bahan cetakan PVC. Selain itu, dapat digunakan oleh industri plastik pengepakan makanan dan bahan bangunan plastik seperti pintu, jendela plastik, dan pipa air.
PT Bukit Asam Tbk melakukan peningkatan nilai tambah dari batu bara yang diperolehnya. Langkah hilirisasi yang dilakukannya adalah teknologi gasifikasi. Teknologi ini memungkinkan konversi batu bara muda menjadi synthesis gas (syngas) yang merupakan bahan baku untuk diproses lebih lanjut menjadi dimethyl ether (DME) sebagai bahan bakar, urea, dan polypropylene.
"Kami ingin menciptakan nilai tambah, mentransformasi batu bara ke arah hilir dengan teknologi gasifikasi. Lalu, menciptakan produk akhir yang memiliki kesempatan nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan sekadar produk batu bara," kata Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk, Arviyan Arifin.
Dalam program hilirisasi tersebut, PTBA telah melakukan head of agreement industri hilirisasi batu bara dengan PT Pupuk Indonesia, PT Pertamina, dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. Perseroan akan mulai mengoperasikan pabrik pengolahan gasifikasi batu bara pada November 2022. Adanya produksi tersebut dapat memenuhi kebutuhan pasar sebesar 500 ribu per tahun, 400 ribu ton DME per tahun, dan 450 ribu ton polypropylene per tahun. Target tersebut akan menyedot kebutuhan batu bara untuk bahan baku sebesar sembilan juta ton per tahun. Kebutuhan tersebut belum memasukkan potensi produksi listrik, pembangkit listrik dari batu bara yang dapat diproduksi, terutama produksi listrik di mulut tambang.
Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin, memberikan catatan bahwa hilirisasi butuh modal yang besar dan cost energi tinggi. Contoh aluminium, antara bahan baku sama energi sama. Sama halnya saat Antam membuat feronikel dari nikel ore, paling mahal listriknya.
"Jadi strategi energi itu sangat penting untuk holding industri pertambangan kalau kita mau bisa kompetitif di global," kata Budi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Arif Hatta
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: