Meski disebut logam tanah jarang atau rare earth element (REE), sejatinya keberadaanya di alam relatif melimpah. Umumnya, unsur tanah jarang dijumpai di mineral ikutan, seperti bastnaesit, monasit, xenotim, apatit, dan zirkon.
Badan Geologi mengidentifikasi daerah yang potensial mengandung REE adalah daerah dengan batuan penyusun granit tipe S atau seri ilmenit (yang menghasilkan mineralisasi timah dengan mineral ikutan) yang bisa dijumpai di sepanjang sabuk timah yang memanjang ke selatan dari Kepulauan Riau sampai Bangka Belitung, serta di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Berbicara mengenai potensi, US Geological Survey (USGS) menaksir pada akhir 2017 lalu, total cadangan REE mencapai 120 juta ton. Dari jumlah tersebut, negara dengan cadangan terbesar, sekitar 44 juta ton adalah China, disusul sebanyak 22 juta ton di Brasil dan 18 juta ton di Rusia. Kebutuhan dunia unsur tanah jarang diperkirakan mencapai 136.000 ton per tahun, dengan produksi dunia sekitar 130.000 ton di mana kekurangannya dipenuhi dari produksi tambang sebelumnya. Produsen terbesar adalah China 105.000 ton dan Australia 20.000 ton.
Meningkatnya permintaan REE oleh dunia diamini PT Inalum. Direktur Utama PT Inalum, Budi G. Sadikin menyatakan salah satu unsur REE, torium (th) saat ini sangat berharga di pasar dunia. Sayangnya, meski menjadi produk mineral ikutan PT Timah, namun belum dihilirisasi. Padahal kalau diolah, elemen torium maupun elemen REE lainnya bisa digunakan untuk bahan baku industri elektronika, seperti layar TV, laptop, pengeras suara, speaker, telepon genggam, baterai kendaraan listrik, dan lain-lain.
"REE itu harganya sekarang naik menjadi US$68 ribu per metrik ton. Karena China tidak lagi ekspor, pemerintah sana menerapkan pelarangan ekspor karena ini jadi sangat laku. Salah satu contoh mudahnya, dulu kan speaker ukurannya besar, tapi kualitasnya begitu. Tapi sekarang di handphone, kualitasnya sama speaker yang dulu tidak kalah lho. Nah, kenapa bisa begitu? Itu karena REE memungkinkan konsep miniaturisasi," kata dia belum lama ini.
REE sejatinya kumpulan dari 17 unsur, yaitu scandium (Sc), yttrium (Y), lanthanum (La), cerium (Ce), praseodymium (Pr ), neodymium (Nd), promethium (Pm), samarium (Sm), europium ( Eu), gadolinium (Gd), terbium (Tb), dysprosium (Dy), holmium (Ho), erbium (Er), thulium (Tm), ytterbium (Yb), lutetium (Lu), dan yttrium (Y).
Kegunaan logam tanah jarang sangat beragam, mulai dari kebutuhan industri keramik, pupuk, bahan bakar, baterai, elektronik, komputer, komunikasi, otomotif, hingga teknologi nuklir. Logam tanah jarang sangat berperan dalam program pengurangan ketergantungan energi fosil bagi alat transportasi karena merupakan bahan penting dalam pengembangan mobil hybrid. Berbagai tipe rechargeable batteries yang banyak mengandung cadmium (Cd) atau timbal, sekarang digantikan dengan baterai rechargeable lanthanum-nikel-hydride (La-Ni-H). Demikian halnya pada baterai komputer, baterai mobil, dan peralatan komunikasi karena mudah didaur ulang.
REE juga digunakan pada teknologi magnetic refrigeneration. Kelompok logam Nd, Pr, Dy, dan Tb merupakan bahan penting dalam pembuatan motor listrik dan generator mobil hybrid. Sementara kelompok logam La, Nd, dan Ce merupakan bahan penting dalam pembuatan baterai mobil hybrid NiMH.
Maraknya pencarian potensi REE belakangan ini tidak terlepas dari manfaatnya. Terlebih lagi, kondisi pasar yang tengah terjadi pembatasan suplai dari China sebagai pemasok utama dunia menyebabkan harganya sangat mahal. Pembatasan ini, seiring konsolidasi enam perusahaan utama REE di China.
Kepincut Industri REE China
Sementara Direktur Utama PT Timah Tbk, Riza Pahlevi, mengakui pihaknya saat ini tengah fokus menggarap bisnis ini. Produk logam tanah jarang yang dihasilkan perusahaan berupa hidroksida dengan kapasitas produksi sebesar 50 kg per hari, harganya bisa mencapai US$230 per Kg.
Perusahaan sejak 2015 lalu memiliki pilot project di tambangnya yang berlokasi di Tanjung Ular, Bangka Barat, dan melakukan pemisahan konsentrat pasir timah (kasiterit). Didapatlah produk sampingan berupa konsentrat dengan kandungan mineral monasit 85%. Konsentrat monasit, mengandung uranium 0,3%, torium 3%, unsur REE 60%, dan fosfat 30%.
"Pilot project dan project plan kami masih terus berjalan. Pilot plan ini mampu mengolah monasit untuk menghasilkan rare earth hidroksida. Investasi di project pilot plan ini sudah sekitar Rp25 miliar. Selanjutnya, pilot plan tersebut akan ditingkatkan pada fase komersial," kata dia kepada Redaksi Majalah Warta Ekonomi, baru-baru ini.
Ditambahkan, perusahaan juga menjajaki teknologi dan kerja sama dengan pihak lain yang berpengalaman untuk melakukan perhitungan ulang cadangan. Monasit yang dihasilkan pada saat menambang bijih timah, termasuk juga mineral radioaktif yang mengandung uranium dan thorium serta unsur REE ini sedang dihitung potensinya secara lebih akurat. Ditaksir, perusahaan memiliki potensi sumber daya monasit pada seluruh wilayah penambangannya sekitar 180 ribu ton.
"Sudah ada tim khusus yang menangani ini. Jadi kami bersama BATAN dan tekMIRA punya pilot plan pengolahan monasit untuk memisahkan unsur mineral radioaktif dengan unsur logam tanah. Kita juga ada program sinergi konsorsium LTJ dengan Unpad, UI, ITB, BPPT, dan Balai Besar Logam. Konsorsium ini diharapkan dapat menghasilkan downstream industri berbasis rare earth di Indonesia. Saat ini, PT Timah sedang melaksanakan feasibility study (FS) untuk mengetahui skala ekonomis pabrik pengolahan monasit dan diharapkan dapat selesai pada akhir tahun ini," kata dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: