Pemerintah harus berani menghadapi kampanye hitam yang mampu merugikan ekonomi dan investasi nasional. Disinyalir sejumlah LSM asing seperti Greenpeace Indonesia beroperasi secara ilegal karena tidak terdaftar resmi di Kementerian Luar Negeri, bahkan enggan melaporkan kegiatan maupun sumber pendanaan kepada pemerintah.
Pasca reformasi, kehadiran LSM asing (transnasional) yang beroperasi di Indonesia malahan menjadi blunder bagi perekonomian nasional. Bhima Yudistira, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menjelaskan jejaring NGO dari luar negeri bebas masuk Indonesia tanpa ada pelaporan maupun registrasi kepada pemerintah Indonesia. Sementara di Malaysia, pemerintah setempat memberikan pengawasan ketat bagi NGO transnasional yang ingin beroperasi di sana.
"Pada kenyataannya, NGO melanggar regulasi karena tidak terdaftar di pemerintah. Kebebasan sekarang ini menjadi kebablasan akibatnya blunder bagi perekonomian Indonesia," ujar Bhima dalam diskusi Forum Jurnalis Sawit bertemakan "Dampak Kampanye NGO Bagi Ekonomi Indonesia", Jumat (5/10/2018).
Data Forum Jurnalis Sawit (FJS) menunjukkan bahwa sejumlah LSM asing yang aktif menyerang kelapa sawit pada kenyataannya belum terdaftar dan tidak melaporkan kegiatannya kepada pemerintah Indonesia.
LSM asing yang belum terdaftar di Kementerian Luar Negeri antara lain Greenpeace Indonesia, Forest People Programe, Mighty Earth, Environmental Investigation Agency (EIA). Mereka tidak tercatat dalam situs resmi Kementerian Luar Negeri yaitu https://ingo.kemlu.go.id/. Di situs tersebut terdapat 65 LSM asing yang terdaftar beroperasi di Indonesia, tetapi nama-nama LSM di atas tadi tidak terdaftar.
Kewajiban untuk mendaftar diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2016 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang Didirikan Warga Negara Asing. Beleid ini mengatur, LSM asing harus terdaftar salah satunya kewajiban melaporkan sumber pendanaan.
Selain itu, pemerintah diminta menindak pelanggaran NGO dalam UU Nomor 16/2017 mengenai Organisasi Kemasyarakatan di pasal 59 point 3 bahwa Ormas dilarang melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai peraturan perundang-undangan. Semisal, tindakan Greenpeace beberapa waktu lalu yang mengokupasi kilang minyak merupakan bukti pelanggaran hukum.
Dr. Sudarsono Soedomo, Dosen Institut Pertanian Bogor, sepakat bahwa terdapat indikasi kuat NGO asing yang beroperasi di Indonesia dan menyerang perusahaan termasuk sawit, pulp and paper, tidak mematuhi prosedur dan aturan.
NGO asing, kata Sudarsono, sering melontarkan tuduhan tanpa risiko yang sepadan. Selain itu, NGO disinyalir bermain dua kaki dimana kaki satu sebagai alat pemerasan. Sementara kaki lainnya dipakai untuk menjadi konsultan bagi perusahaan yang mereka tekan.
"Sebaiknya, pemerintah segera melakukan investigasi kepada NGO asing yang beroperasi di Indonesia seperti Greenpeace dan EIA dari Inggris. Investigasi ini untuk mengetahui kepatuhan terhadap hukum Indonesia," tegasnya.
Dalam kesempatan terpisah, Mayjen (Purn) Soedarmo, Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, menegaskan LSM tidak bisa seenaknya menuduh sawit melanggar aturan lingkungan. Karena Indonesia mempunyai Rencana Tata Ruan Wilayah (RTRW) untuk mengatur mana wilayah hutan, untuk perkebunan, dan pemukiman.
"Itu hak negara Indonesia. Kedaulatan kita tidak bisa diganggu," kata Soedarmo.
Bhima Yudistira menyebutkan persoalan hambatan dagang dan kampanye hitam dapat dipetakan ke dalam beberapa isu misalkan di Amerika Serikat yang muncul isu dumping dan persaingan biofuel. Di Uni Eropa, sawit dihadang persoalan lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Lain halnya dengan India yang menghadapi masalah neraca dagang.
"Isu negatif sawit terus dipoles dengan berbagai cara. Di Uni Eropa, sawit diserang isu buruh anak dan lingkungan," kata Bhima Yudistira.
Jika persoalan ini tidak segera ditangani, dampaknya sanga luas terhadap neraca perdagangan dan investasi luar negeri. Bhima mengatakan surplus perdagangan Indonesia terus menyusut semenjak beberapa tahun terakhir. Indonesia beruntung memiliki sawit yang menjadi penyumbang utama ekspor non migas. Akan tetapi, perhatian pemerintah terhadap sawit belum serius sehingga daya saintg komoditas ini sulit berkembang.
"Tetapi jika pemerintah tidak menjaga komoditas (sawit) dari gangguan. Maka nasib sawit akan seperti komoditas rempah-rempah yang sekarang kita dengar cerita kejayaannya saja," kata Bhima.
Di sektor investasi, penanaman modal asing di sektor perkebunan anjlok dari periode 2015-2017. Investasi di sektor pangan dan perkebunan tergerus menjadi US$1,4 miliar pada 2017, lebih rendah dari tahun 2015 sebesar US$2 miliar. Yang dikhawatirkan, investasi sektor jasa semakin tinggi.
"Padahal, penyerapan tenaga kerja di sektor jasa terbilang rendah dari perkebunan," ujar Bhima.
Menanggapi isu deforestasi, sebaiknya tidak perlu dikhawatirkan deforestasi diperlukan seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk. Prof. Chairil Anwar Siregar, Peneliti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan ada peningkatan kebutuhan lahan untuk memenuhi kepentingan pemukiman, pertanian, perkebunan dan industri.
"Deforestasi menjadi keniscayaan karena luas daratan tidak akan bertambah. Sementara, kebutuhan lahan akan tinggi," tutur Chairil Anwar.
Sebagai solusinya, pemerintah daerah disarankan mempunyai RTRWP supaya mencegah konflik tata ruang yang bersentuhan dengan kawasan hutan dan pertanian dapat dihindari dalam proses pembangunan.
Greenpeace Membantah
Greenpeace Indonesia membantah anggapan bahwa organisasinya tidak terdaftar atau beroperasi secara ilegal di Indonesia.
Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menyatakan organisasinya tidak perlu terdaftar di Kementerian Luar Negeri, karena bukan yayasan atau ormas asing.
"Greenpeace didirikan oleh seluruhnya warga negara Indonesia dan merupakan sebuah perkumpulan (ormas) Indonesia, sebagai Badan Hukum Perkumpulan Masyarakat Pecinta Lingkungan dan Damai Asia Tenggara – Indonesia (Greenpeace Indonesia)," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (9/10/2018).
Ditambahkan, Peraturan Pemerintah 59/2016 tentang pendaftaran ormas asing tidak mengatur Greenpeace Indonesia. Greenpeace Indonesia terdaftar di Kemenhumkam sebagaimana ormas-ormas Indonesia lainnya. Berdasarkan Akta Pendirian Nomor 01 Tanggal 1 Maret 2006 dan Akta Perubahan Nomor 10 Tanggal 25 Maret 2009. Keduanya dibuat dihadapan Notaris Istiaty Aisyiah Soepono SH, MH di Jakarta, yang disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM-RI sebagaimana dalam Surat Keputusan No. AHU-128 AH 01.06. Tahun 2009, tanggal 4 Desember 2009.
"Terkait anggapan kami enggan melaporkan kegiatan maupun sumber pendanaan kepada pemerintah Indonesia, kami selalu menjunjung nilai transparansi keuangan. Setiap pengeluaran dan pemasukan dilaporkan kepada donatur dan publik umum melalui laporan tahunan. Tidak hanya dikirimkan kepada setiap donatur saja, tetapi juga diunggah di situs Greenpeace Indonesia dan juga dalam tahun tertentu, dipublikasikan di iklan media massa. Selain itu, Greenpeace Indonesia juga tertib dan rutin membayar dan melaporkan pajak," tambahnya.
Diakuinya, sejak Greenpeace Indonesia berdiri, organisasi ini tidak pernah menerima dana dari pemerintah, baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah negara lain, juga dari perusahaan-perusahaan swasta. Tulang punggung kampanye organisasi adalah donasi publik perorangan, dari para warga masyarakat yang peduli pada kelestarian lingkungan.
Sebagai badan hukum, Greenpeace Indonesia rutin memberitahukan perubahan struktur kepengurusan kepada Kemenkumham. Dan sebagai badan hukum yang tunduk kepada Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), Greenpeace Indonesia selalu memperbaharui kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara terbuka melalui website, sesuai dengan klasifikasi jenis-jenis Informasi yang dimandatkan oleh UU KIP.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Hafit Yudi Suprobo
Tag Terkait: