Kredit Foto: Sekretariat Presiden
Calon Presiden RI, Joko Widodo sempat salah mengucapkan Surat Al-Fatihah menjadi Al-Fatekah
saat pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional XXVII tahun 2018 di Kota Medan beberapa waktu lalu menuai beragam tanggapan dari masyarakat.
Dedi Mulyadi Ketua Tim Kampanye Daerah Jawa Barat, Jokowi-Maruf Amin menilai tergantung orang yang melihatnya. Apabila orang yang tidak suka pasti disalah-salahkan. Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah memberikan penjelasan bahkan beberapa orang yang memiliki kemampuan dalam memahami Al-Quran sudah memberikan penjelasan bahwa pengucapan tersebut sesuai dengan logat orang Jawa.
"Itu kan persoalan logat, logatnya orang Jawa kemudian yang disebutnya itu kan bukan ayat tapi nama surat kalau nama surat bisa saja dan diperboleh oleh MUI. Kalau orang yang tidak suka pasti disalah-salahkan,"katanya kepada wartawan di kantor DPD Golkar Provinsi Jawa Barat, Jl Maskumambang Bandung, Rabu (10/10/2018)
Dedi mengungapkan pola komunikasi yang diterapkan Jokowi tidak bisa dikatakan ketinggalan zaman. Ia menuturkan bagi mereka yang menyebutkan ketinggalan zaman maka termasuk orang yang kurang hiburan.
Masyarakat Indonesia secara umum tidak terlalu suka serius. Tapi, akhir-akhir ini, banyak politisi yang melawak di media sosial lewat gimik.
"Justru sekarang para seniman kurang pekerjaan karena para politisinya cukup menghibur di media sosial," imbuhnya.
Dia menyebutkan ke depannya, negeri ini butuh opisisi untuk mengontrol kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah. Oposisi itu bukan sebatas parlemen saja dari sisi aspek regulasi kelegislatifan tapi oposisi yang bersifat terbuka bagi masyarakat bagi negera manapun.
Namun, yang menjadi oermasalahan di Indonesia oposisi ini selalu bersentuhan dengan anggaran negara. Misalnya, Ratna Sarumpaet yang mempisisikan sebagai oposisi tapi kwluar nwgeri menggunakan APBD.
"Negeri ini butih opoisis sehingga ada yang mengontrol tapi bukan menggunakan APBD ke luar negeri," tegasnya
Dampaknya jika oposisi menggunakan anggaran negara, maka pwmerintah akan mudah mencari kesalahan oposisi tersebut.
"Banyak kan diantara kita mengaku oposisintapi sering membuat proposal pengajuan dana,"tegasnya
Dia menilai oposisi seperti ini tidak akan mampu melakukan oengawasan dengan baik. Pasalnya, ketika kebutuhannyabterpenuhi maka oposisinya akan menjadi hilang. Diharapkan, ke depannya lahir oposisi permanen untelektual akademis yang tidak tergantung kepada anggaran dan kebutuhan personal sehingga baik bagi negara.
"Yang terjadi sekarang mengaku oposisi tapi menikmati uang negara. Kalau ingin menjadi oposisi hebat ya harus nolak uang negara karena ujungnya diaudit,"pungkasnya
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Kumairoh
Tag Terkait: