"No palm oil, no SDGs". Itulah ungakapan Pietro Paganini dari John Cabot University, Roma saat memberikan paparan dalam Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2018 pada Jumat (2/11/2018) di Nusa Dua, Bali. Pernyataan tersebut merespons banyaknya isu dan pelabelan negatif yang terus digelembungkan di Uni Eropa kepada minyak kelapa sawit atau produk yang mengandung sawit.
Menurutnya, boikot terhadap minyak kelapa sawit, dapat membahayakan tercapainya tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) karena sebenarnya kelapa sawit merupakan salah satu hasil panen dengan tingkat keberlanjutan yang tinggi.
Ia meneliti implikasi dari pelabelan free from palm oil pada produk makanan di Uni Eropa (EU). Menurutnya, orang Eropa sangat suka dengan pelabelan. Dalam setiap kemasan makanan yang ditunjukkannya tertempel label kandungan sawit atau tidak. Mereka sangat khawatir produk tersebut mengandung sawit.
Pietro mengutarakan bahwa di Eropa saat ini terdapat ketakutan mengenai minyak kelapa sawit yang banyak dicitrakan berbahaya. Semua ini, menurutnya, karena masalah reputasi. Reputasi negatif tentang kelapa sawit ini terbentuk karena kekuatan dari pelabelan. Seperti diketahui, pelabelan sebenarnya berfungsi sebagai alat pemasaran dan periklanan yang berhubungan dengan perilaku manusia serta tren yang sedang berlaku.
"Bicara mengenai minyak kelapa sawit, maka akan berbicara mengenai perang iklan, promosi, dan pangsa pasar," katanya.
Jika ada label free from, konsumen biasanya akan merasa lega dan akan membeli produk tersebut. Pasar biskuit dan makanan manis lain di Italia serta negara EU yang lain saat ini berada di kondisi yang matang, terfragmentasi, dan sangat agresif. Karena itu, menurutnya, adanya perang memperebutkan konsumen dan pangsa pasar membutuhkan alat pemasaran baru yang lebih kuat.
Terkait dengan minyak kelapa sawit, EU saat ini tengah berusaha mencantumkan label bebas dari minyak kelapa sawit (free from palm oil) di berbagai produk makanan mereka. Perang iklan melawan kelapa sawit ini banyak disebabkan oleh adanya citra minyak kelapa sawit sebagai produk yang berbahaya bagi kesehatan, tidak berkelanjutan dari sisi lingkungan hidup, serta secara sosial berbahaya, terutama dari sisi ketenagakerjaan atau buruh. Di industri makanan sendiri, menurut Pietro, label no palm oil dilakukan untuk tujuan komersial, terutama untuk diferensiasi pasar dan gerakan palmwashing.
"NGOs memiliki peran yang sangat signifikan dalam kampanye ini," katanya.
Sebagai bukti, antara 2016 hingga awal 2018 terdapat perang yang sangat besar melawan minyak kelapa sawit. Banyak argumen berkembang yang mengatakan bahwa minyak kelapa sawit berbahaya karena memiliki kandungan lemak yang tinggi, banyak terkontaminasi, dan sangat karsinogenik. Yang jelas, menurutnya, argumen-argumen tersebut sering kali dibuat, meskipun secara ilmiah belum terbukti.
Kampanye tersebut, menurutnya, menyebabkan terjadinya penurunan impor minyak kelapa sawit untuk makanan sebesar 18%, penurunan impor dari minyak kelapa sawit Indonesia sebesar 70% untuk produk makanan, dan 33% untuk produk nonmakanan.
Terkait dengan SDGs, boikot terhadap minyak kelapa sawit, menurut Pietro, juga dapat membahayakan tercapainya tujuan SDGs. Adanya minyak kelapa sawit yang sustainable dapat berdampak pada tercapainya tujuan SDGs.
"No palm oil, no SDGs," katanya sambil menegaskan bahwa kelapa sawit merupakan salah satu hasil panen dengan tingkat keberlanjutan yang tinggi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Arif Hatta
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: