Persatuan ahli gizi Indonesia (Persagi) Bogor, Jawa Barat meningkatkan kapasitas para ahli gizi di wilayah itu untuk meningkatkan perannya dalam mendukung program pemerintah mempercepat penanganan stunting.
"Kendala di lapangan akurasi pengukuran bayi stunting masih dipertanyakan, karena cara pengukuran dan penimbangan yang tidak dilakukan oleh ahlinya," kata Prof Dodik Briawan, Ketua Persagi Bogor, dalam seminar gizi kesehatan di Universitas Djuanda, Sabtu.
Agar data pengukuran berat dan tinggi bayi akurat, pengukuran haruslah dilakukan oleh tenaga ahli atau kader yang sudah dilatih oleh tenaga ahli gizi yang tersertifikasi.
Seminar gizi kesehatan dalam rangka Hari Kesehatan Nasional (HKN) Persagi Bogor meningkatkan wawasan dan kemampuan tenaga ahli dalam mengukur bayi dengan mendatangkan pembicara ahli. Salah satunya Dr Abbas Basuni Jahari dari Kementerian Kesehatan yang memaparkan tentang antropometri yakni gambaran dari tinggi bayi salah satu pengukurnya dari gizi.
Pengukuran antropometri diperlukan dalam upaya mencegah stunting. Begitu pula dengan survei di lapangan dalam rangka pengawasan oleh kader maupun ahli gizi di puskesmas. Pembicara lainnya, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat, Dinas Kesehatan Kota Bogor, Erna Nurainai yang membahas stunting di Kota Bogor. Asuhan gizi geriatri disampaikan oleh Ferina Damayanti, dan surveilans gizi oleh Agus Triwinarto. Menurut Prof Dodik angka stunting di Indonesia muncul pada tahun 2013 sebesar 37 persen lebih, artinya sekitar sembilan juta bayi di Indonesia alami stunting.
Di Kota Bogor angka stunting tergolong rendah yakni 5,8 persen, sedangkan Kabupaten Bogor cukup tinggi yakni 28,4 persen. Pemerintah sejak empat tahun terakhir melakukan intervensi dengan program-program terpadu di Kementerian Kesehatan dan lainnya untuk menekan angka stunting.
"Ada dua program pemerintah dalam percepatan penanganan stunting yakni program spesifik dan program sensitif," katanya.
Ia menjelaskan, program spesifik adalah intervensi langsung ke sasaran yakni ibu hamil dan bayi seperti 1.000 hari pertama kelahiran (HPK), Pemberian makanan tambahan, bulan timbang bayi, dan lainnya. Sedangkan program sensitif stunting seperti kartu keluarga miskin, atau pangan untuk keluarga miskin, kartu sehat, dan lainnya. Semua program dintegrasikan untuk menurunkan angka stunting di Indonesia. Menurut pakar gizi masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut, stunting menjadi ancama serius bila tidak dikendalikan, karena dapat merusak generasi penerus bangsa jika banyak bayi lahir stunting.
"Bayi lahir stunting berasal dari ibu yang stunting juga. Bayi stunting, pertumbuhannya terhambat, kesehatannya terganggu, tingkat kecerdasannya juga," katanya.
Generasi emas Indonesia terancam jika stunting tidak dikendalikan, bonus demograsi akan menjadi ancaman, kualitas sumber daya manusia Indonesia akan menurun di banding negara-negara di Asian.
"Karena persoalan stunting ini kita sama seperti di Afika, sementara negara di Asia sudah menurunkan angka stuntingnya," kata Dodik.
Untuk menurunkan angka stunting khususnya di wilayah Bogor, Persagi menggelar semina gizi kesehatan dalam rangka meningkatkan kemampuan ahli gizi, mengoptimalkan surveilans di lapangan, serta mengenalkan tabel komposisi pangan Indonesia.
"Intinya penanganan stunting ini perlu kerja bareng, pemerintah, dan masyarakat yang mau aktif untuk melakukan pemeriksaan selama hamil, dan memberikan nutrisi cukup kepada bayinya," kata Prof Dodik.
Dodik menambahkan, berdasarkan data Riskesdas 2018, angka stunting Indonesia mengalami penurunan, saat ini di angka 30 persen.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Hafit Yudi Suprobo