Bisnis Agregator Picu Perkembangan Industri Keuangan Syariah di Indonesia
Model bisnis agregator dari perusahaan financial technology (fintech) syariah Alami diklaim mampu menciptakan solusi untuk mengatasi tantangan-tantangan di industri keuangan syariah Indonesia. Dengan begitu, mereka berharap dapat meningkatkan penetrasi industri keuangan syariah yang hanya senilai 5,6% saat ini.
CEO dan Founder Alami, Dima Djani mengatakan, penetrasi perbankan syariah di 2017 dan 2018 di Indonesia termasuk rendah jika dibandingkan dengan negara mayoritas muslim lain, seperti Iran (100%), Arab Saudi (51%), Malaysia (34%), Uni Emirat Arab (25,7%), dan Pakistan (12,0%). Beragam faktor mempengaruhi hal tersebut, seperti rendahnya literasi keuangan syariah (rata-rata 8%) dan sentimen negatif masyarakat tentang kepatuhan syariah.
Selain itu, Dima menjelaskan, "Pangsa pasar bagi perbankan syariah yang rendah, sekitar 5,6% dan performa kinerja yang belum maksimal, yakni rata-rata NPF sebesar 3,8% juga jadi faktor yang menghambat perkembangan keuangan syariah di negara ini."
Padahal, Dima menilai peluang industri keuangan syariah termasuk besar. Bila dilihat dari pasar global, nilainya mencapai angka sekitar US$30 miliar. Adanya pertumbuhan milenial yang kini hampir 30%, serta meningkatnya kesadaran gaya hidup islami juga mendorong pertumbuhan industri keuangan syariah.
"Oleh karena itu, kami bermaksud mengajak para profesional muda untuk memajukan ekonomi syariah di Indonesia agar dapat lebih diterima dan dirasakan manfaatnya oleh generasi penerus bangsa melalui teknologi dan model bisnis berkelanjutan," kata Dima lagi.
Adapun manfaat dari model bisnis agregator Alami ialah (1) mendorong literasi keuangan syariah untuk masyarakat, sehingga persepsi mereka terhadap industri tersebut membaik, (2) proses yang cepat dan mudah untuk perbankan, sehingga pelayanannya lebih efisien, (3) adanya monitoring keadaan keuangan bagi UKM melalui mobile, dan (4) menyisihkan keuntungan kepada masyarakat di bottom of pyramite yang belum memiliki kesempatan membuka usaha.
"Ada komponen masyarakat yang belum terlibat dalam model bisnis ini, yakni kaum duafa atau bottom of pyramite. Mereka belum memiliki bisnis, sehingga belum bisa menerima pembiayaan. Karena itu, keuntungan yang kami dapatkan saat ini akan kami putar ke mereka. Caranya, kerja sama dengan institusi yang menyalurkan dana ke bottom of pyramite," jelas Dima.
Model bisnis agregator perusahaannya juga sudah dikonsultasikan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, model bisnis ini telah memasuki proses pencatatan di OJK sesuai dengan Peraturan OJK (POJK) Nomor 13 tentang Inovasi Keuangan Digital.
"Kami bukan fintech liar yang tidak diawasi OJK. Kami juga lakukan korespondensi perihal syariahnya dengan DSN MUI," kata Dima.
Alami sendiri melayani pembiayaan bisnis yang diperbolehkan dalam syariah. Mereka bekerja sama dengan lima mitra institusi keuangan syariah, yakni Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank Mega Syariah, Jamkrindo Syariah, dan Fintech P2P syariah KapitalBoost.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tanayastri Dini Isna
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: