Para pemilih di Taiwan telah memutuskan untuk membatasi pernikahan menjadi sebatas antara seorang pria dan seorang wanita dalam referendum.
Hasilnya menjadi sebuah masalah bagi kaum LGBT yang berharap Taiwan akan menjadi tempat pertama di Asia untuk membiarkan pasangan sesama jenis berbagi hak asuh anak dan tunjangan asuransi.
Pemungutan suara pada hari Sabtu, yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok Kristen yang membentuk sekitar lima persen penduduk Taiwan dan pendukung struktur keluarga tradisional China, bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Mei 2017.
Saat itu, para hakim mengatakan kepada para legislator kemudian untuk membuat aturan pernikahan sesama jenis dalam waktu dua tahun, yang pertama di Asia di mana agama dan pemerintah konservatif biasanya tetap melarangnya.
Meskipun inisiatif pemungutan suara hanya bersifat sebagai penasihat, namun diharapkan hasilnya dapat menggagalkan para politisi yang sadar akan opini publik karena mereka menghadapi batas waktu pengadilan tahun depan.
Banyak legislator akan mencalonkan diri untuk pemilihan kembali pada 2020.
"Badan legislatif memiliki banyak pilihan tentang bagaimana membuat perintah pengadilan ini berlaku," ungkap pendukung referendum Chen Ke, seorang pastor Katolik di Taiwan dan penentang pernikahan sesama jenis.
Para politisi partai yang berkuasa yang didukung oleh Presiden Tsai Ing-wen telah mengusulkan melegalkan pernikahan sesama jenis pada akhir 2016, tetapi mengesampingkan gagasan mereka untuk menunggu sidang.
Oposisi terhadap pernikahan sesama jenis meningkat setelah putusan pengadilan, ketika para penentang mengadakan unjuk rasa dan memobilisasi suara secara online.
"Pengadilan akan tetap mempertimbangkan kantor perizinan pernikahan setempat yang melanggar hukum pada Mei 2019, jika mereka menolak pasangan sesama jenis," ungkap juru bicara Kementerian Kehakiman minggu lalu.
"Referendum adalah survei umum, itu tidak memiliki implikasi hukum yang sangat kuat," tutur Shiau Hong-chi, profesor studi gender dan manajemen komunikasi di Universitas Shih-Hsin di Taiwan.
"Satu atau lain cara itu harus kembali ke pengadilan," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Hafit Yudi Suprobo
Editor: Hafit Yudi Suprobo
Tag Terkait: