Ekonom Adrian Panggabean mengatakan bahwa kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang diperkirakan berlanjut dapat menekan pertumbuhan ekonomi di 2019 menjadi 4,9% (yaer on year/yoy) atau melambat dibanding prognosa 2018 yang 5,1 %.
Namun, menurut Adrian, kenaikan suku bunga acuan itu memang perlu ditempuh otoritas moneter karena masih tingginya gejolak ekonomi eksternal yang dapat melarikan modal asing dan sebagai upaya menambal lubang defisit transaksi berjalan domestik.
"Volatilitas di pasar finansial sebagai konsekuensi kurangnya likuiditas akibat naiknya suku bunga akan terus berlanjut," kata Kepala Ekonom PT Bank CIMB Niaga Tbk itu dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Proyeksi pertumbuhan ekonomi di 4,9% itu lebih rendah dibanding prognosa BI yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2019 di atas 5,1%.
Adrian memandang pelaku pasar memahami langkah agresivitas BI dalam menaikkan suku bunga acuan di enam bulan terakhir semata-mata untuk menyelamatkan defisit transaksi berjalan dan menarik modal asing ke pundi-pundi aset berdenominasi rupiah. Namun hal itu juga, kata dia, tidak bisa dibantah akan turut mengerem laju pertumbuhan ekonomi.
"Defisit transaksi berjalan kita memang memprihatinkan. Jadi, BI mau tidak mau menaikkan suku bunga, itu pasti pengaruhnya menurunkan pertumbuhan, tapi itu juga karena kebutuhan untuk menahan impor," ujar dia.
Sepanjang enam bulan terakhir di 2018, BI sudah menaikkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 1,75% ke 6%, sebuah langkah yang diterjemahkan sebagai sikap otoritas moneter yang antisipatif (preemptive) dan mendahului kurva suku bunga (ahead of the curve).
Dalam tempo tidak lama, kata Adrian, suku bunga instrumen keuangan khususnya berjangka panjang akan ikut naik dan memicu penurunan likuiditas di sistem keuangan domestik.
Meninjau pernyataan BI yang masih mempertahankan sikap preemptive dan ahead of the curve, ekonom ini memperkirakan suku bunga acuan bisa dikatrol kembali hingga 6,5-6,75% hingga akhir 2019.
Atas dasar itu pula, investor akan mencari zona nyamannya tersendiri dengan melakukan penyesuaian investasi, karena imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun diperkirakan akan mencapai 8,5% di akhir 2019.
Di samping posisi kebijakan moneter yang pro-stabilitas, kata Adrian, kebijakan fiskal 2019 juga tidak akan ekspansif karena rasio penerimaan pajak yang rendah.
"Hal ini juga merupakan konsekuensi dari rendahnya rasio pajak yang kemudian diaksentuasi oleh efek kebijakan suku bunga dalam menjaga rupiah, namun berdampak pada pelemahan dinamika sektor riil," kata Adrian.
Dengan proyeksi pertumbuhan eknonomi di 4,9%, inflasi 2019 diperkirakan akan di bawah 3,5% yoy.
Sementara nilai rupiah di 2019 diperkirakan bergerak di Rp14.400-Rp15.200. Jika melihat rentang perkiraan kurs tersebut yang berjarak 800 poin, maka volatilitas nilai rupiah diperkirakan tinggi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: