Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

YLKI Desak Pemerintah Segera Sahkan RPP Transaksi Online

YLKI Desak Pemerintah Segera Sahkan RPP Transaksi Online Kredit Foto: Lazada
Warta Ekonomi, Jakarta -

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak pemerintah untuk segera mensahkan RUU Perlindungan Data Pribadi dan RPP tentangĀ Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan, regulasi yang ada, terutama UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tak mampu meng-cover dan perlindungan dan permasalahan transaksi belanja elektronik.

"Keberadaan RUU Perlindungan Data Pribadi dan atau RPP dimaksud sangat mendesak untuk segera disahkan menjadi UU dan PP. Pemerintah hendaknya tidak membiarkan pelanggaran hak-hak konsumen saat melakukan transaksi, baik saat belanja elektronik, transportasi online, dan jasa-jasa lainnya," ungkap Tulus dalam keterangan tertulis yang diterima Warta Ekonomi di Jakarta, Kamis (20/12/2018).

Pada 2019, ia menerangkan, fenomena ekonomi digital makin terasa. Hampir semua sisi ekonomi mikro tersentuh ekonomi digital ini.

"Konsumen pun sebagai pengguna akhir ekonomi digital, dengan berbagai turunannya, makin gandrung dibuatnya," ujarnya.

Lebih lanjut ia menegaskan, ekonomi digital telah memberikan kontribusi ekonomi makro secara signifikan. Diprediksi pada 2025 nanti, ekonomi digital akan berkontribusi pada PDB mencapai Rp730 triliun.

"Menurut Google Temasek Economy SEA, Indonesia menjadi negara tercepat dan terbesar dalam pertumbuhan ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara," tegas Tulus.

Tulus melanjutkan, fenomena ekonomi digital yang pada titik tertentu merupakan wujud disruptif ekonomi; adalah sebuah fenomena yang tak bisa dihindari.

"(Fenomena ekonomi digital) mempunyai lompatan positif untuk peradaban manusia secara keseluruhan, dan pada sisi mikro membuat aktivitas kehidupan manusia semakin mudah, murah, dan cepat," tambah Tulus.

Namun ironisnya, lanjutnya, pada konteks perlindungan konsumen, negara belum terlalu hadir. Negara tampak terbius dengan pertumbuhan ekonomi digital, tetapi terlena dengan aspek perlindungan konsumen, yang jelas-jelas merupakan entitas utama dalam ekonomi digital ini.

"Dalam aktivitas keseharian ekonomi digital berupa transaksi belanja online/e-commerse, transportasi online, dan finansial teknologi, berupa pinjaman online" lanjut Tulus.

Tulus menjelaskan, pada tataran ini masih terjadi berbagai paradoks, yakni:

1. Rendahnya literasi digital konsumen

Rendahnya literasi digital ini, akan berdampak terhadap berbagai persoalan yang ending-nya merugikan konsumen. Dan hal ini terbukti, data Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, pengaduan yang terkait ekonomi digital menduduki rangking pertama, selama 3 (tiga) tahun terakhir, berkisar 16-20% dari total komoditas pengaduan yang diterima YLKI. Pengaduan itu berupa transaksi produk e-commerse, dan atau pinjaman online.

2. Lemahnya pengawasan pemerintah.

Untuk pinjaman online, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) nampak masih gagap, baik dalam membuat regulasi, pengawasan dan atau sanksinya. Pelaku pinjaman online yang terdaftar di OJK hanya 72 saja, tetapi di lapangan yang beroperasi mencapai lebih dari 350-an,

3. Lemahnya regulasi.

Mulai belum adanya UU Perlindungan Data Pribadi, sampai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, sampai sekarang masih tersimpan di laci Sekretariat Negara.

Pelanggaran hak konsumen yang tak kalah sadisnya adalah sektor finansial teknologi, dengan Peer to Peer Lending (pinjaman online). Level keluhan pinjaman online bukan sekadar gangguan kenyaman saja, tapi sudah menembus ancaman keamanan dan keselamatan konsumen, dan berpotensi melanggar HAM konsumen.

Dengan beberapa konfigurasi persoalan tersebut, maka seharusnya ada upaya sistematis dan komprehensif untuk meningkatkan literasi digital masyarakat konsumen sebagai pengguna produk digital ekonomi.

"Pemerintah dan pelaku usaha punya tanggungjawab untuk meningkatkan literasi digital masyarakat konsumen, melalui edukasi masif. Tanpa ada peningkatan literasi digital masyarakat maka potensi masyarakat menjadi korban semakin besar. Baik karena ada penyalahgunaan data pribadi dan atau korban material lain yang dialami konsumen, seperti penipuan dan atau korban dari sisi pelayanan," pungkas Tulus.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Kumairoh
Editor: Kumairoh

Bagikan Artikel: