Demonstrasi di Ibu Kota Sudan, Khartoum, terus berlangsung pada akhir pekan lalu dan pemrotes mengecam inflasi yang terus terjadi dan krisis pangan di negara tersebut. Menurut saksi mata setempat, ratusan pemrotes turun ke jalan di seluruh ibu kota Sudan tersebut.
Pasukan keamanan menggunakan gas air mata untuk membubarkan demonstran, yang meneriakkan slogan yang menentang Pemerintah Presiden Omar Al-Bashir, kata beberapa saksi mata. Demonstrasi serupa dilaporkan di Kota Atbara (Negara Bagian River Nile), Dinder (Negara Bagian Sennar), dan Port Sudan (Negara Bagian Laut Merah).
Dalam perkembangan terkait, Partai Perbaikan dan Pembaruan --yang dipimpin oleh Mubarak Al-Fadil-- mengumumkan penarikannya dari Pemerintah Sudan, demikian laporan Kantor Berita Anadolu.
"Kami menarik wakil kami dari Kabinet untuk memprotes penggunaan kekerasan terhadap pemrotes dan kegagalan partai yang memerintah untuk melaksanakan saran yang disepakati sebagai bagian dari Gagasan Dialog Nasional Sudan," kata partai tersebut di dalam pernyataan.
Pada hari yang sama, Menteri Penerangan Bushara Gumaa menyebutkan jumlah orang yang tewas selama 10 hari protes ialah 19 orang, termasuk dua personel keamanan. Sementara itu, kelompok oposisi mengatakan jumlah korban jiwa hampir 40 orang.
Perdana Menteri Sudan Mutaz Musa mengutuk kerusuhan tersebut dan menyampaikan belasungkawa atas jatuhnya korban jiwa.
"Kami bersedih buat mereka yang kehilangan nyawa mereka dan kami mengutuk kekerasan selama demonstrasi," kata Musa di dalam postingan Facebook.
Demonstrasi rusuh meletus di Kota Arbara dan Port Sudan. Dalam dua hari, protes meletus di beberapa kota besar, termasuk Er-Rahad di Sudan Utara, Kota Kecil Berber di wilayah Sudan Selatan dan El-Gaddarif dan El-Obeid di Sudan Timur.
Pemerintah Sudan telah mengumumkan keadaan darurat dan larangan orang keluar rumah di sejumlah provinsi sehubungan dengan protes tersebut, dan para pejabat pemerintah menuduh Israel bersekongkol dengan kelompok pemberontak untuk menimbulkan kerusuhan di negeri itu.
Sudan, negara dengan 40 juta warga, telah berjuang untuk memulihkan diri dari kehilangan tiga-perempat hasil minyaknya --sumber utama penghasilan luar negerinya-- ketika Sudan Selatan memisahkan diri pada 2011.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo