Perusahaan rintisan bidang teknologi, Gojek yang sering disebut-sebut sebagai karya anak bangsa rupanya semakin dikuasai asing. Paling baru, perusahaan yang berdiri tahun 2010 ini merampungkan fase pertama putaran pendanaan seri F yang dipimpin oleh Google, JD.com, dan Tencent, serta beberapa investor lainnya termasuk Mitsubishi Corporation dan Provident Capital.
Berdasarkan rumor yang beredar di pasar, suntikan modal dari Google-Tencent Cs ini mencapai US$1 miliar atau setara Rp14 triliun (asumsi kurs Rp 14.000). Diperkirakan Gojek sudah disuntik investor asing lebih dari US$3 miliar. Techcrunch melaporkan, Gojek telah tujuh kali melakukan putaran penggalangan dana dan diperkirakan valuasinya mendekati US$10 miliar.
Meskin banyak mendapat suntikan modal asing, Gojek melalui keterangan resmi (1/2/2019), setelah putaran pendanaan Seri F, perusahaan mengklaim bahwa para pendiri Gojek akan tetap memiliki kontrol terhadap pengambilan keputusan dan penentuan arah kebijakan perusahaan. Dengan demikian mereka tetap dapat merealisasikan visi jangka panjang perusahaan serta terus melakukan ekspansi dan pengembangan bisnis yang pesat.
Namun bagaimana pandangan pihak luar? Anggota Komisi XI DPR RI, Ecky Awal Mucharam mengatakan semakin banyak investor dari luar negeri berarti perusahaan itu semakin dikuasai asing. Dengan kondisi seperti itu dikhawatirkan data warga negara Indonesia rawan disalahgunakan oleh perusahaan asing. Karena itu, dia meminta pemerintah untuk mengambil kebijakan terkait penguasaan asing atas startup lokal.
"Kita jangan sekedar bangga atas keberadaan startup-startup unicorn tersebut, karena faktanya mereka sudah dikuasai asing. Lagi-lagi kita hanya menjadi pasar semata. Pemerintah harus segera mengambil langkah strategis dan taktis mengatasi hal ini," ujar Ecky belum lama ini.
Menurut Ecky, ada tiga masalah jika startup dikuasai asing. Pertama soal data yang rawan disalah gunakan. Kedua, dengan keunggulan teknologi para startup unicorn ini akan menjadi pemenang dalam kompetisi sementara pemain tradisional tersisih. Menurutnya itu sama saja membiarkan asing merebut lebih banyak kue ekonomi. Apalagi pemberlakuan pajak antara bisnis startup dan tradisional berbeda, dimana pajak untuk perusahaan-perusahaan tersebut sangat longgar.
“Selain tidak fair juga terjadi kebocoran penerimaan negara. Perlu ada level playing field atau aturan main yang sama," ujar Ecky.
Ketiga, dominasi barang-barang impor di startup e-commerce unicorn yang bisa membanting harga. Akibatnya produk lokal tersisih. Diperkirakan 90-an persen barang-barang yang diperjualbelikan unicorn e-commerce adalah impor. Jika seperti itu, maka sama saja memperburuk defisit transaksi berjalan dan tidak ada manfaat nilai tambahnya bagi ekonomi keseluruhan khususnya sektor manufaktur di Indonesia.
Karena itu, dia minta pemerintah harus segera merancang regulasi yang komprehensif dan dapat menjawab tiga isu tersebut. Entah misalkan pembatasan kepemilikan asing, insentif dan disinsentif fiskal untuk memperkuatkan manfaat bagi ekonomi nasional, maupun aturan yang lebih teknis terkait keamanan data.
“Kembali ke amanah pasal 33 UUD 45, jangan kalah oleh liberalisasi ekonomi dengan cover ekonomi digital," tandas Ecky.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: