Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

9 Hal Soal Sertifikat Laik Fungsi, Pemilik Bangunan Wajib Tahu

9 Hal Soal Sertifikat Laik Fungsi, Pemilik Bangunan Wajib Tahu Kredit Foto: Kementerian PUPR
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perihal pembagian sertifikat tanah yang sempat dibahas pada debat capres kedua menjadi pengingat betapa banyaknya masalah yang menyelimuti kepemilikan hak hukum atas tanah di Indonesia, terutama Jakarta.

Dengan lahan Jakarta yang kian terbatas, hunian vertikal menjadi salah satu opsi yang banyak diambil masyarakat kota ini. Sayangnya, kepemilikan hak hukum atas tanah juga menjadi salah satu masalah yang paling sering ditemui calon pembeli atau pun pemilik hunian vertikal.

Wendy Haryanto, Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute (JPI), menjelaskan bahwa masalah ini berakar dari ketidaktahuan masyarakat terkait Sertifikat Laik Fungsi (SLF).

"SLF adalah syarat mutlak terhadap kepemilikan Sertifikat Hak Satuan Rumah Susun (SHSRS) sebagai jaminan kepemilikan hunian vertikal dari pengembang. Sayangnya, justru tahap ini yang sering kali mengganjal pengembang dan pada akhirnya menghambat hak yang seharusnya dimiliki konsumen," ujar Wendy melalui siaran pers, Rabu (20/2/2019).

Baca Juga: Program Sertifikat Tanah Tak Gratis?

Baca Juga: Siap-siap, Jutaan Rumah Dibangun Tahun Ini

Wendy menjelaskan, ada beberapa hal yang menjadi penghambat perolehan SLF. "Sebelum memperoleh SLF, pengembang diwajibkan menyerahkan fasilitas umum dan fasilitas sosial, seperti sekolah, ruang terbuka hijau, atau pun perbaikan jalan. Keinginan pengembang untuk menunaikan kewajiban tersebut justru sering kali terhambat dan memakan waktu bertahun-tahun," jelasnya.

Dia menambahkan, perolehan SLF juga sering terhambat masalah benturan peraturan. Aturan-aturan dari level nasional hingga regional yang belum satu suara pada akhirnya menyebabkan perolehan SLF lebih lama dari target pemerintah.

"Momen ini menjadi kesempatan baik untuk menjelaskan dasar-dasar dari SLF yang sudah seharusnya diketahui semua pihak, termasuk masyarakat," tukasnya.

Berikut adalah sembilan hal mendasar mengenai SLF:

1. Definisi SLF

SLF merupakan sertifikat terhadap bangunan gedung yang telah selesai dibangun dan telah memenuhi persyaratan kelaikan teknis sesuai fungsi bangunan. Tanpa SLF, gedung tidak bisa beroperasi secara legal.

2. Klasifikasi SLF

SLF diklasifikasikan berdasarkan jenis dan luasan bangunan

• Kelas A untuk bangunan nonrumah tinggal di atas delapan lantai

• Kelas B untuk bangunan nonrumah tinggal kurang dari delapan lantai

• Kelas C untuk bangunan rumah tinggal lebih atau sama dengan 100 m2

• Kelas D untuk bangunan rumah tinggal kurang dari 100 m2

3. Pengajuan pengurusan SLF melalui DPMPTSP

Setiap pemilik gedung bisa mengajukan permohonan SLF melalui loket Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) DKI Jakarta di tingkat kecamatan, suku dinas, atau dinas. Perbedaan loket pengurusan didasarkan pada kelas bangunan yang dimohonkan.

4. Penerbitan SLF membutuhkan rekomendasi beberapa dinas

Dinas dan badan pemerintah yang menentukan penerbitan SLF adalah Dinas Tenaga Kerja, Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta, dan Perusahaan Listrik Negara (PLN).

5. Pemenuhan kewajiban sebelum pengurusan SLF

Untuk bangunan gedung di atas delapan lantai dan/atau di atas 5.000 m2, pengembang perlu menyerahkan bukti pemenuhan kewajiban dari pengembang ke kota berupa fasilitas umum dan fasilitas sosial sebelum mengurus SLF.

6. SLF Sementara sebagai pengganti SLF Definitif

Untuk pengembang yang mengalami kendala dalam pemenuhan kewajiban ke kota, dapat memohonkan SLF Sementara sebelum mengurus SLF Definitif. Masa berlaku SLF Sementara adalah enam bulan.

7. Masa berlaku SLF 5 hingga 10 tahun

Masa berlaku SLF 5 tahun untuk bangunan non-rumah tinggal dan 10 tahun untuk bangunan rumah tinggal. Sebelum masa berlaku habis, pemilik gedung harus mengajukan kembali permohonan perpanjangan SLF. Permohonan dilengkapi laporan hasil Pengkajian Teknis Bangunan Gedung oleh pengkaji teknis dari pengembang yang memiliki Izin Pelaku Teknis Bangunan (IPTB) bidang pengkaji bangunan.

8. Dampak tidak adanya SLF

Tanpa SLF, pengembang tidak dapat menerbitkan Akta Jual Beli (AJB), tidak dapat membuka cabang bank di gedung tersebut, tidak dapat membentuk Persatuan Penghuni Rumah Susun (PPRS), dan tidak dapat memungut biaya perawatan dari penghuni.

9. Kelengkapan sertifikat hunian

Selain SLF, pembeli sebaiknya mengecek sertifikasi dari pengembang, anatara lain sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB), surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), surat Izin Penggunaan Penunjukan Tanah (SIPPT), dan Sertifikat Hak Satuan Rumah Susun (SHSRS). Agar lebih valid, pengecekan dapat dilakukan dengan mendatangi instansi terkait.

Baca Juga: Siap-siap Nabung! PP Urban Kembangkan Hunian Khusus Milenial

"Ini yang biasanya dihadapi pengembang di balik layar ketika mengurus sertifikat bangunan dengan pemda. Pentingnya hal ini mendorong JPI untuk melakukan usaha memetakan masalah perizinan bangunan dan menyederhanakan prosesnya," ujar Wendy.

Wendy menegaskan bahwa proses ini harus dipahami masyarakat sebagai konsumen yang berpotensi merugi dari sulitnya pengurusan perizinan bangunan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: