Pemerintah siap memacu ekspor industri otomotif dengan harmonisasi skema Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Dalam aturan baru ini, PPnBM tidak lagi dihitung dari kapasitas mesin, namun pada emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor. Semakin rendah emisi, semakin rendah tarif PPnBM kendaraan. Skema itu tengah dikonsultasikan oleh pemerintah pada parlemen.
"Insentif baru yang dikeluarkan pemerintah ini disederhanakan menjadi berbasis emisi. Skema harmonisasi ini diharapkan bisa mengubah kendaraan produksi dalam negeri menjadi rendah emisi, meningkatkan investasi dan memperluas pasar ekspor," kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (11/3/2019).
Menurut Airlangga, dalam aturan baru, pemerintah mengusulkan supaya prinsip pengenaan PPnBM melihat semakin rendah emisinya, maka semakin rendah tarif pajaknya. Berbeda dengan aturan sekarang yang mempertimbangkan besaran kapasitas mesin mobil.
Harmonisasi skema PPnBM ini sekaligus memberikan insentif produksi motor dan mobil listrik di Tanah Air, sehingga PPnBM menjadi 0%. Bila dalam aturan sebelumnya insentif hanya diberikan untuk kendaraan bermotor hemat energi dan harga terjangkau (KBH2), dalam aturan baru ini insentif diberikan pada Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) atau kendaraan bermotor kategori beremisi karbon rendah.
Baca Juga: Menperin Janji Beri Insentif Khusus untuk Produksi Mobil Listrik
Selain itu, kendaraan Hybrid Electric Vehicle (HEV) yang mengadopsi motor listrik dan baterai untuk peningkatan efisiensi, Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) yang dayanya dapat diisi ulang di luar maupun di luar kendaraan, dan Flexy Engine.
Airlangga mengatakan, perubahan skema PPnBM ini diproyeksikan berlaku pada 2021. Hal tersebut mempertimbangkan pada kesiapan para pelaku usaha. Dengan tenggat waktu dua tahun, pelaku usaha akan mampu melakukan penyesuaian dengan teknologi atau bisa memenuhi syarat untuk mendapatkan tarif PPnBM yang lebih rendah, lalu pelaku usaha baru bisa mendapatkan kepastian berusaha.
"Kami sudah berdiskusi dengan para pelaku usaha. Mereka sudah minta waktu dua tahun untuk menyesuaikan. Pabrikan Jepang yang sudah eksisting di industri otomotif sudah siap, juga pabrikan dari Eropa," tuturnya.
Airlangga menuturkan, pertumbuhan industri otomotif di Tanah Air sangat meyakinkan dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di sektor industri nonmigas sebesar 9,98%. Data ekspor kendaraan bermotor roda dua menunjukkan tren kenaikan sebesar 53% dan 44% pada 2016-2018.
"Kalau kita lihat dari unitnya, roda empat ini produksi 1,3 juta nilainya US$13,7 miliar dan ekspor ke mancanegara 346 ribu atau US$4,7 miliar. Di Asean 297 ribu unit atau US$2,3 miliar," ucapnya.
Peluang Ekspor
Di samping itu, Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) yang sudah resmi diteken, diproyeksikan mampu membuka lebih lebar peluang menggenjot ekspor mobil listrik ke Australia. Kerja sama ini juga akan memberi peluang Indonesia untuk ekspor mobil listrik dan hybrid ke Negeri Kangguru tersebut dengan tarif preferensi 0%. Dengan penandatanganan itu, 6.747 pos tarif barang asal Indonesia akan dibebaskan bea masuknya ke Australia.
Dalam 10 tahun terakhir, industri otomotif di Australia menutup pabriknya karena pasar negara kangguru tersebut dianggap tidak menguntungkan bagi para produsen mobil. Untuk memenuhi kebutuhan kendaraan roda empat, selama ini Australia mengandalkan impor dari beberapa negara seperti Thailand, Jepang, China, dan India.
"Dengan demikian, potensi pasar otomotif di Australia sebesar 1,1 juta sudah terbuka bagi produsen Indonesia," ungkapnya.
Baca Juga: Pasca IA-CEPA, Mobil Listrik Jadi Andalan Genjot Ekspor
Berdasarkan tipe, permintaan mobil di Australia, jika digabung mobil penumpang dengan tipe Sport Utility Vehicle (SUV), setiap tahun bisa mencapai 70% dari total pasar di negeri tersebut. Mobil penumpang kerap kali diisi jenis mobil sedan ataupun crossover, sedangkan SUV serta mobil komersial yang paling banyak diburu tak lain adalah kabin ganda.
Daftar merek mobil paling laris di Australia, antara lain Mazda 3, Toyota Corolla, Camry, Holden Toyota RAV 4, dan Hyundai i30. Selain itu, mobil-mobil kabin ganda seperti Toyota Hilux, Ford Ranger, serta Isuzu D Max mencatatkan penjualan moncer. Rata-rata, penjualan Toyota di Australia mencapai 200.000 unit per tahun. Dengan hitungan tersebut, merek asal Jepang itu menguasai rata-rata 17,5% pasar otomotif.
Sejak lima tahun belakangan, volume pasar mobil di sana tidak bergeser jauh. Permintaan pasar tertinggi terjadi pada 2016, sebanyak 1,17 juta unit. Karakter pasar itu pun hampir serupa dengan Indonesia. Mobil penumpang mendominasi permintaan pasar Australia.
Airlangga menambahkan, saat ini pesaing industri otomotif Indonesia di Asean hanya Thailand. Dengan dibukanya CEPA dengan Australia, ditargetkan ekspor otomotif Indonesia bisa melewati Thailand. Saat ini, produksi Thailand lebih tinggi dari Indonesia sebesar 2,1 juta unit dengan ekspor 1,1 juta unit, sedangkan produksi Indonesia mencapai 1,3 juta unit dan ekspor 346 ribu unit.
"Persentase ekspor Thailand 53%, ekspor Indonesia 26% dan sebagai catatan Thailand sudah memiliki Free Trade agreement dengan Australia, New Zealand, India Jepang, Peru, Chile. Sedangkan Indonesia yang sudah berjalan, baru dengan Jepang, Pakistan, Chile, Eropa," imbuhnya.
Berdasarkan kategori, ekspor Thailand kebanyakan adalah jenus pick up dan mobil dengan berat satu ton, kemudian mobil penumpang SUV dan sedan.
"Yang membedakan dengan Indonesia, ekspor terbesar kita adalah MPV seperti Kijang dan kelompoknya yang tujuh penumpang, SUV dan hatchback," jelas Airlangga.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Rosmayanti