Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan, ekspor industri manufaktur Indonesia terus tumbuh. Sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan tinggi tersebut merupakan sektor yang menjadi andalan dalam peta jalan Making Indonesia 4.0.
"Kalau kami lihat dari capaian ekspor, jumlah ekspor produk industri 2018 sebesar US$130,09 miliar atau naik 3,98% dibandingkan 2017 yang hanya mencapai US$125,10 miliar. Ekspor produk industri ini memberikan kontribusi hingga 72,19% dari total ekspor nasional 2018 senilai US$180,21 miliar," kata dia di Jakarta, Rabu (13/3/2019).
Airlangga menuturkan, bila dilihat dari masing-masing sektor industri, ada beberapa sektor lain yang bisa dipacu secara agresif, dari sektor industri agro misalnya, ada industri furnitur. Kemenperin mencatat kinerja ekspor dari industri furnitur Indonesia dalam tiga tahun terakhir memperlihatkan tren yang positif.
Pada 2016, nilai ekspornya sebesar US$1,60 miliar, naik menjadi US$1,63 miliar di 2017. Sepanjang 2018, nilai ekspor produk furnitur nasional kembali mengalami kenaikan hingga US$1,69 miliar atau naik 4% dibanding 2017. "Ditargetkan sektor industri furnitur bisa naik dua kali lipat," ungkapnya.
Airlangga mengungkapkan, sumber bahan baku kayu di Indonesia sangat besar mengingat potensi hutan yang sangat luas hingga 120,6 juta hektare, yang terdiri dari hutan produksi mencapai 12,8 juta hektare. Oleh karena itu, pemerintah berupaya mengoptimalkan potensi industri furnitur nasional melalui beberapa kebijakan, antara lain melalui program bimbingan teknis produksi, promosi dan pengembangan akses pasar, serta penyiapan SDM industri furnitur yang kompeten.
Di sektor kimia, farmasi, dan tekstil ada beberapa industri yang nilai ekspornya dapat dipacu secara agresif, yakni industri karet. Airlangga mengatakan, salah satu pemain di industri karet Indonesia, yakni Michelin resmi membeli saham PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA). Transaksi ini dilakukan di pasar negosiasi melalui crossing (transaksi tutup sendiri) via Trimegah Sekuritas senilai Rp6,8 triliun.
Multistrada merupakan produsen ban lokal yang mempunyai kapasitas produksi lebih dari 180 ribu ton, yang terdiri dari 11 juta unit ban kendaraan penumpang roda empat, 9 juta ban kendaraan roda dua, dan 250 ribu ban truk. Pada 2017, penjualan bersih MASA tercatat sebesar US$281 juta.
"Selanjutnya akan dilakukan ekspansi ke industri retreading ban aircraft untuk Garuda Indonesia dan Lion Air. Kalau kita bicara industri karet, terbanyak yang menggunakan karet alam adalah ban untuk kendaraan beban besar berkecepatan rendah. Karena itu, untuk ban pesawat terbang akan memerlukan karet alam yang lebih banyak. Kami juga mendorong agar ekspor meningkat," imbuh Airlangga.
Baca Juga: Airlangga Targetkan Ekspor Otomotif Indonesia Lampaui Thailand
Pada sektor kimia, farmasi, dan tekstil juga ada pabrik industri hilirisasi batu bara PT Bukit Asam di Tanjung Enim, Sumatera Selatan yang sedang dalam proses pembangunan. Hasil hilirisasi atau olahan batu bara tersebut akan diubah melalui teknologi gasifikasi untuk menghasilkan produk akhir yang memiliki nilai tambah.
Batu bara tersebut akan dikonversi menjadi syngas sebagai bahan baku untuk diproses menjadi Eimethyl ether (DME) sebagai bahan bakar, urea sebagai pupuk, dan Polypropylene sebagai bahan baku plastik.
"Gasifikasi terhadap batu bara ini juga akan menjadi subtitusi impor terhadap elpiji, kemudian pupuk dan Methanol," imbuhnya.
Airlangga menambahkan, sektor industri logam, mesin alat transportasi, dan elektronika mengalami peningkatan ekspor yang sangat besar di industri baja. Hal tersebut dipacu dengan produksi beberapa pabrik pengolahan (smelter) baja yang baru seperti di Morowali, Sulawesi Tengah. Total kapasitas produksi smelter nikel pig iron sebesar 2 juta ton per tahun dan 3,5 juta ton stainless steel per tahun dengan nilai ekspor mencapai US$2 miliar pada 2017 dan naik menjadi US$3,5 miliar.
Namun, kata Airlangga, untuk terus memacu ekspor baja ini, Kemenperin perlu berkoordinasi dengan Kemendag terkait dengan peningkatan ekspor baja tersebut karena saat ini ekspor ke Amerika Serikat masih dikenai biaya bea masuk sebesar 25%. Kemudian ekpor ke China mulai ada investigasi anti-dumping untuk impor baja nirkarat (stainless steel).
Hal itu dilakukan setelah Kemendag China menerima keluhan bahwa impor stainless steel merugikan industri lokal Negeri Tirai Bambu. "Jadi, kedua negara itu melakukan kebijakan proteksi karena produk baja Indonesia masuk dalam jumlah besar," tuturnya.
Baca Juga: Dorong Komoditas Ekspor Pertanian Indonesia, Kementan Luncurkan Aplikasi I-MACE
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: