Resesi, topik yang masih hangat sebab sepanjang perdagangan hari kemarin banyak diperbincangkan. Negara Paman Sam yang dijuluki sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu diramal akan mengalami resesi selama 18 bulan ke depan.
Ramalan tersebut timbul setelah rilis data obligasi yang menunjukkan bahwa imbal hasil (yield) untuk obligasi pemerintah bertenor pendek lebih tinggi daripada obligasi berteno panjang. Dalam waktu singkat ramalan tersebut menggemparkan pasar keuangan global hingga akhinya menyisakan koreksi aset keuangan di mana-mana, termasuk Indonesia.
Namun, kegelisahan investor tersebut akhirnya dapat sedikit diredam oleh mantan bos The Fed, Janet Yellen. Gubernur The Fed periode 2014-2018 itu menyanggah ramalan dan mengatakan bahwa data obligasi tersebut bukan sinyal terjadinya resesi.
Baca Juga: Rupiah KO Lagi? Oh No!
Yellen justru mengatakan hal tersebut menjadi sinyal perlunya pemotongan suku bunga acuan oleh The Fed untuk mengakhiri tren pelemahan ekonomi AS. Asal tahu saja, pekan lalu The Fed kembali memberi pernyataan dovish untuk mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 2,25% hingga 2,5%.
"Dan fakta ini mungkin menandakan bahwa The Fed di suatu titik perlu untuk menurunkan suku bunga. Namun, ini tentu saja tidak menandakan bahwa beberapa perkembangan ini akan menyebabkan resesi," jelas Yellen sebagaimana dikutip dari Reuters.
Pernyataan Yellen tersebut bak embun penyejuk di tengah dahaga yang melanda. Alhasil, kini investor global dapat lebih bijak dan tenang dalam bermain di pasar keuangan global, khususnya Indonesia. Tanda optimisme investor terhadap aset berisiko di Indonesia sudah nampak dengan rebound-nya IHSG sebesar 0,46% pagi tadi yang juga diikuti oleh penguatan rupiah terhadap dolar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Lestari Ningsih
Editor: Lestari Ningsih
Tag Terkait: