Perubahan perilaku konsumen yang saat ini cenderung berinteraksi dan bertransaksi lewat digital platform tidak hanya melanda industri perhotelan, transportasi, ritel, dan consumer goods saja, melainkan juga industri finansial, dan turunannya, yakni industri asuransi jiwa.
Di Singapura, rencananya Grab akan memasarkan produk asuransi dari ZhongAn di mana masyarakat bisa membeli produk asuransi dari aplikasi Grab tanpa melalui agen.
Meskipun, tidak semua produk asuransi bisa diperjualbelikan secara online, terutama untuk produk kompleks yang masih memerlukan interaksi dengan agen, nyatanya industri asuransi jiwa sudah tiba di era ini.
Eranya penuh ketidakpastian. Resep sukses yang mungkin lima atau tujuh tahun lalu masih berhasil, belum tentu sukses diterapkan karena saat ini pasarnya sudah berubah. Adanya digital disruption itu sendiri yang membuat otomasi makin masif di sana sini, mau tidak mau memaksa perusahaan untuk meng-upscale atau me-rescale kemampuan SDM-nya.
Untuk itu, CEO Generali Indonesia, Edy Tuhirman, menyatakan pihaknya menekankan pentingnya memiliki kemampuan membaca pasar, menyiapkan antisipasi, dan berani menjadi pioneer.
"Tujuh tahun lalu ketika tidak ada yang membicarakan metode manajemen risiko otomatis, Generali meluncurkan Automatic Risk Management System (ARMS) yang disempurnakan menjadi Robo ARMS. Ketika tidak ada yang membicarakan wellness prevention Generali meluncurkan DNA Test dan Bonus 85. Ketika tidak ada yang membicarakan kustomisasi unitlink diluncurkan Unitlink Ganjil dan Cemerlang," kata dia kepada redaksi Majalah Warta Ekonomi, belum lama ini.
Baca Juga: Ini Jawaban Generali Hadapi Tantangan VUCA
Ibarat adagium mana ada sih fotocopy-an yang hasilnya lebih baik dari aslinya? Atau orang hanya akan mengingat siapa yang pertama melakukannya, bukan yang kedua dan seterusnya ataupun kita hanya akan mendapat asap kita mengikuti di belakang pebalap lain. Dan dalam bisnis yang long term game ini, people management menjadi hal yang krusial.
Berikut ini lima tantangan yang dihadapi Generali di era volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity (VUCA)
1. Ketidakpastian di Pasar
Tidak semua hal bisa diprediksi, seperti misalnya geopolitik dan geoekonomi. Siapa menyangka Donald Trump bisa memenangkan pemilu di AS? Siapa yang tahu kapan gonjang-ganjing Brexit berakhir? Siapa yang tahu kapan financial crisis akan terjadi lagi? Sebesar apa? Karena apa?
Maka dari itu, dibutuhkan inovasi produk untuk mengelola ketidakpastian ini menjadi sesuatu yang lebih pasti, misalnya dengan mengautomasi ARMS lewat robot yang akan mengendalikan semua parameter di antaranya cut loss.
2. Digital Disruption
Tidak dipungkiri, konsumen saat ini lebih banyak menghabiskan waktunya di layar smatphone berinteraksi dengan berbagai aplikasi (mulai dari Google Maps, Waze, Gojek dsb), ketimbang di tempat lainnya. Akses poin pun terus berubah di mana orang dulu mengakses monitor besar, turun ke PC, turun ke laptop, turun ke tablet, turun ke mobile phone, berubah lagi siklusnya menuju foldable phone.
Perusahaan harus terus mengikuti perkembangan teknologi ini agar tidak ketinggalan kereta, dan paling-paling nyata ada di depan mata saat ini adalah mobile apps. Mobile apps mulai menjadi access point klien membeli produk asuransi yang sifatnya sederhana (simple preference) dan bisa dibandingkan dari sisi harga.
Dari sisi produk asuransi yang kompleks, meski transaksi masih melalui jalur agen, tetap perlu dipersenjatai misalnya personal website untuk menjadi pedagang digital mencari klien.
Baca Juga: Generali Perkuat Gerakan The Human Safety Net
3. Makin Banyak Proses Terotomasi
Selain mengubah pola interaksi dan transaksi konsumen, digitalisasi juga membuat proses automasi yang semula di-handle manual oleh SDM bisa dilakukan di sana-sini. Saat ini robot di Generali memang baru dilakukan di ARMS, tapi bahwa robot ini ditempatkan di tempat lain memang sudah terjadi.
Perlu dipikirkan apa yang akan perusahaan lakukan dengan SDM atau agen mereka. Perlu ada rencana jelas kapan mereka akan difokuskan mengerjakan hal-hal yang sifatnya quality time rather than quantity time, misalnya visioning, fokus engage klien, melatih AI, ML, robochat, dan sebagainya karena kelebihan-kelebihan ini tidak dimiliki sistem (robot).
4. Ekspektasi Hidup Orang Indonesia Membaik
Tidak dipungkiri, kemajuan perkembangan teknologi kedokteran saat ini semakin membaik sehingga harapan hidup bertambah. Pandangan terhadap produk asuransi sendiri berubah. Produk asuransi yang semula dikenal sebagai proteksi saat sakit diganti dan saat meninggal dibayar, saat ini klien berbicara bagaimana agar bisa hidup lebih sehat.
Klienpun berpikir saat tua nanti, jangan sampai anak mereka menjadi generasi sandwich, karena harus menanggung beban biaya pendidikan kesehatan orangtuanya sekaligus anaknya. Untuk perusahaan perlu melakukan inovasi produk searah dengan kebutuhan itu.
Generali misalnya, meluncurkan DNA Test karena diketahui bahwa 30 persen pengaruh kesehatan berasal dari DNA, sisanya 70 persen gaya hidup. Ataupun Bonus 85 yang memastikan di usia tua, klien tidak akan memiliki investasi yang cukup untuk kesehatannya.
5. Optimalisasi Produk
Saat ini baru sekitar 10 persen dari total penduduk Indonesia yang memiliki produk asuransi jiwa dan nilai pasarnya baru sekitar 3 persen. Permasalahannya bukan pada produk seperti unitlink yang kurang baik, melainkan pada seberapa tahu klien, seberapa waktu luang yang dimiliki klien, dan seberapa disiplin klien mengelola (adaptasi, relokasi) asetnya.Seperti apa alokasi aset saat klien semakin tua misalnya.
Jadi ini tentang how we utilize it? Kalau dalam lima sampai tujuh tahun ke depan kesadaran klien membaik, Indonesia berhasil keluar dari middle income trap dan average usia orang Indonesia makin tua, bukan tidak mungkin pangsa pasar yang 3% PDB tadi bisa tumbuh dua kali lipat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: