Edisi terbaru Global Economy Watch PwC mengungkapkan bahwa negara-negara Afrika dapat memeroleh keuntungan besar hingga US$23 miliar jika setiap negara menerapkan reformasi tata pemerintahan yang dilakukan Pantai Gading sejak 2013.
Negara-negara dengan potensi keuntungan terbesar adalah yang memiliki PDB per kapita tinggi, namun memiliki rekam jejak yang buruk dalam tata pemerintahan. Oleh karenanya, negara-negara kaya minyak seperti Libia dan Guinea Khatulistiwa akan mengalami peningkatan terbesar. Setiap orang akan mendapatkan keuntungan tambahan masing-masing sebesar US$400 dan US$200.
Negara-negara dengan PDB per kapita yang lebih rendah, seperti Niger dan Malawi, akan mengalami peningkatan yang lebih kecil, walaupun peringkat tata pemerintahannya berada di bawah rata-rata wilayah tersebut.
Baca Juga: Pemerintah Andalkan Investasi Bidik Pertumbuhan Ekonomi di 2020
Sebaliknya, negara-negara seperti Rwanda, yang mengalami peningkatan serupa dengan Pantai Gading, hanya akan mendapatkan realisasi manfaat yang kecil. Keuntungan yang lebih besar dapat diperoleh melalui diversifikasi lebih lanjut dari perekonomiannya.
Proyeksi tersebut juga mencatat perbedaan regional yang cukup kuat dalam pertumbuhan ekonomi di seluruh benua Afrika. Pertumbuhan ekonomi selama ini relatif kuat di Afrika Timur (sekitar 3% per tahun sejak 2013). Sebaliknya, Afrika Tengah mengalami penurunan PDB per kapita riil tahunan sebesar rata-rata 1,3% selama periode tersebut.
Afrika Utara dan Selatan mengalami pertumbuhan yang sangat lambat (masing-masing 0,4% dan 0,8% per tahun), sedangkan Afrika Barat mengalami pertumbuhan yang lebih cepat sebesar 1,9% per tahun.
Mike Jakeman, ahli ekonomi senior di PwC Inggris, berkata, "Kinerja ekonomi sangat bervariasi dalam beberapa tahun terakhir, namun korelasi antara pertumbuhan ekonomi yang kuat dan peningkatan tata pemerintahan menunjukkan ada cara agar seluruh Afrika dapat tumbuh lebih pesat."
"Peningkatan tata pemerintahan juga dapat membantu negara-negara tersebut mengidentifikasi peluang pertumbuhan," imbuhnya.
Sementara Irhoan Tanudiredja, territory senior partner di PwC Indonesia, mengatakan, sebagaimana pertumbuhan ekonomi, manfaat dari peningkatan tata pemerintahan bervariasi di seluruh Afrika. Negara-negara dengan stabilitas politik yang baik dan angka korupsinya turun, mengalami peningkatan PDB per kapita, begitupun sebaliknya.
"Bagi negara dengan nilai buruk dalam stabilitas politik dan korupsi, peningkatan tata kelola publik dapat menjadi kunci menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat," jelas Irhoan.
Baca Juga: Bu Sri Mulyani Yakin Perang Dagang Tak Berdampak ke Pertumbuhan Kredit
Laporan ini pun membeberkan faktor-faktor penyebab perlambatan ekonomi sejak pertengahan 2018. Kelemahannya nampak terkonsentrasi pada sektor manufaktur, di mana indeks manajer purchasing untuk AS, China, dan zona Eropa, secara khusus, menurun.
Mike Jakeman menyampaikan, ada dua kisah yang saling terkait dalam hal ini. Pertama, dampak konflik dagang AS–China, yang menyebabkan gangguan pada rantai pasokan, menekan selera perdagangan. Ini berita buruk bagi Eropa, terutama pengekspor besar baik bagi AS dan China.
Kedua, upaya Pemerintah China untuk menekan utang sektor korporasi yang memiliki tingkat utang sangat besar, yang dapat menimbulkan tekanan pada produksi manufakturnya sendiri maupun produksi pemasok utamanya.
"Akan tetapi, dampak meredanya perang dagang pada perekonomian membuat Pemerintah China memprioritaskan target PDB sebesar 6–6,5% atas program pengurangan utangnya. Kebijakan relaksasi jangka pendek ini, terutama jika digabungkan dengan perang perdagangan, mungkin bisa mengembalikan momentum perekonomian global di sisa 2019," tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: