Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dua Tersangka BLBI Dipanggil KPK

Dua Tersangka BLBI Dipanggil KPK Tersangak Tahanan KPK | Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yuyuk Andriati, mengatakan penyidik KPK memanggil pengusaha Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim hari ini. Kedua dipanggil sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Keduanya dipanggil sebagai tersangka," ujarnya di Jakarta, Jumat (28/6/2019).

Ia menambahkan, lembaga antirasuah telah berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Indonesia untuk Singapura dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), Singapura terkait pemanggil Sjamsul dan Itjih. KPK juga telah mengirimkan surat panggilan untuk keduanya ke lima alamat, baik di Indonesia ataupun di Singapura.

Sebelumnya, perkara tersebut berawal pada 1998 ketika Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Sjamsul menandatangani penyelesaian pengambilalihan pengelolaan BDNI melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).

Dalam MSAA tersebut, disepakati BPPN mengambilalih pengelolaan BDNI dan Sjamsul sebagai pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab menyelesaikan kewajibannya, baik secara tunai maupun berupa penyerahan aset.

Baca Juga: Besok, KPK Akan Periksa Tersangka BLBI

Adapun jumlah kewajiban Sjamsul selaku pemegang saham pengendali (PSP) BDNI adalah Rp47,258 triliun. Kewajiban tersebut dikurangi aset sejumlah Rp18,850 triliun, termasuk di antaranya pinjaman kepada petani/petambak sebesar Rp4,8 triliun.

Sset senilai Rp4,8 triliun ini dipresentasikan Sjamsul seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah. Setelah dilakukan Financial Due Diligence (FDD) dan Legal Due Diligence (LDD), disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi.

Negara, lewat BPPN pun telah meminta Sjamsul untuk mengganti kerugian tersebut namun ditolak. Pada April 2004, tepatnya ketika BPPN dipimpin Syafruddin Arsyad Temenggung, dilakukan penandatanganan akta perjanjian penyelesaian akhi yang pokoknya berisi pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiannya, padahal, dalam rapat kabinet terbatas Februari 2004 tak ada persetujuan terhadap usulan white off atau penghapusbukuan terhadap sisa utang petani tambak Rp4,8 triliun itu.

Setelah itu, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisi hak tagih utang petambak PT DCD dan PT WM yang kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA).

Pada 24 Mei 2007, PPA melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp220 miliar, padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 triliun. Jadi diduga kerugian keuangan negara yang terjadi sebesar Rp4,58 triliun. KPK pun menegaskan bakal memaksimalkan upaya asse recovery dalam kasus ini.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Irfan Mualim
Editor: Irfan Mualim

Bagikan Artikel: