Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menanggapi soal Ijtima Ulama IV yang menyerukan NKRI bersyariah. Ia menegaskan jika ingin memperjuangkan berlakunya syariat Islam boleh saja asal sesuai dengan proses legislasi.
"Kalau bersyariah dimaknai umat Islam punya keinginan untuk memperjuangkan berlakunya syariat Islam melalui proses legislasi ya boleh-boleh saja," kata Arsul di komplek parlemen di Senayan Jakarta, belum lama ini.
Ia mencontohkan bahkan partainya sejak dulu memang memperjuangkan dan menjaga legislasi agar tak bertentangan dengan ajaran Islam.
"Misal dulu ada perdebatan sengit dalam merumuskan UU 1/1974 tentang perkawinan, PPP sudah ada dan di sana ada perdebatan panjang ketika konsep awalnya dianggap bertentangan dengan Islam," kata Arsul.
Ia mencontohkan lagi ketika 10 tahun terakhir pemerintahan Soeharto, mulai terbuka dan luas mengintroduksi legislasi yang memberikan kemudahan pada umat Islam untuk menjalankan agamanya.
"Misal UU tentang wakaf, ada UU tentang haji, UU tentang perbankan syariah, itu kan hakikatnya implementasi syariat Islam ke dalam sistem legislasi nasional kita. Sepanjang dilakukan dalam cara itu ya sah-sah saja," kata Arsul.
Ia menjelaskan yang tak boleh misalnya ingin melaksanakan syariat di bidang publik dengan cara-cara yang keluar dari sistem hukum. Misalnya memberantas minuman keras tapi dengan cara bertindak sebagai penegak hukum sendiri.
"Itu enggak boleh. Gimana supaya miras bisa diberantas? PPP dalam periode ini mengajukan RUU tentang pelarangan minuman beralkohol yang sampai sekarang masih dibahas. Lalu bagaimana pendidikan Islam lebih maju dan atensi negara lebih besar pada pendidikan Islam, maka PPP mengajukan RUU pendidikan keagamaan dan ponpes. Nah, cara-cara itu boleh," kata Arsul.
Menurutnya, persoalan hubungan antara agama Islam dan negara merupakan sesuatu yang sudah selesai. Persoalan yang dianggap juga sudah final misalnya 4 konsensus negara seperti, Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara, dan bhineka tunggal ika sebagai keberagaman yang diakui di negara ini.
"Tidak boleh diotak-atik. Jadi tak boleh kemudian ada orang Islam di negara ini yang karena pemahaman keagamannya lalu ingin mengubah ideologi atau dasar negara kita atau bentuk negara kita. Dari negara kesatuan menjadi misal negara dengan sistem khilafah," kata Arsul.
Menurutnya, soal khilafah sebagai kajian atau bahan diskusi boleh saja. Tapi kalau sebagai gerakan untuk mengganti 4 konsensus bernegara, maka bisa menjadi pelanggaran hukum pidana.
"Kalau sebagai gerakan mengganti 4 konsensus bernegara, itu jadi pelanggaran hukum pidana yang ada ancaman hukumannya di KUHP," kata Arsul. (ren)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: