Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) menegaskan skala ekonomi petani kopi harus ditingkatkan agar dapat berdaya bersaing. Skala ekonomi bisa meningkat jika petani kopi bergabung dalam wadah usaha khususnya koperasi.
“Petani kopi kalau hanya sendiri-sendiri dengan menawarkan produksi yang terbatas akan sulit bersaing mendapatkan harga tinggi. Lebih baik petani yang produksinya kecil berkumpul dan menjual produknya bersama lewat koperasi. Skala ekonominya lebih besar,” kata Deputi Produksi dan Pemasaran Kementerian Koperasi dan UKM, Victoria br Simanungkalit dalam Diskusi “Peluang Komoditas Kopi” yang diselenggarakan dalam rangka peringatan hari UMKM Nasional, Senin (12/8/2019).
Baca Juga: Kemenkop Siapkan Program Strategis Tingkatkan Kinerja UMKM
Ia mengatakan Kemenkop dan UKM saat ini melakukan edukasi kepada petani agar memandang komoditas kopi sebagai sebuah industri. Dengan demikian petani menyadari mereka ada dalam sebuah ekosistem dan berperan sebagai bagian utama dari proses bisnis kopi.
Untuk itu, Victoria mengatakan adanya kelembagaan usaha yakni koperasi adalah solusi bagi petani kopi. Kelembagaan usaha ini harus diperkuat.
“Koperasi sudah terbukti sebagai usaha bersama demi kepentingan bersama bukan untuk kepentingan pemodal. Petani kopi dapat meningkatkan skala ekonominya dengan bergabung dalam koperasi,” tegas Victoria.
Baca Juga: Kemenkop-UKM Akan Fasilitasi Dana Bergulir bagi Koperasi Sukabumi
Melalui koperasi petani lebih mudah dapat memahami struktur pasar kopi, melakukan investasi dan meningkatkan nilai tambah dari komoditas yang mereka hasilkan. Pemerintah akan membantu dalam peningkatan daya saing, antara lain dengan standarisasi, akses pembiayaan, aspek perdagangan dan aspek lainnya.
Pendiri Koperasi Kopi Mitra Malabar Dhanny Rhismayaddi mengungkapkan meski industri kopi begitu menggeliat saat ini petani kopi pada umumnya masih terbelenggu dalam kemiskinan. Petani kopi kerap menjadi mainan tengkulak yang menentukan harga sesuka hatinya.
Ia menegaskan petani kopi hanya bisa bersaing jika berkelompok atau berkoperasi. Namun, sayangnya petani kopi yang tergabung dalam koperasi masih sedikit.
“Dalam bentuk koperasi petani sangat diuntungkan. Tanpa koperasi, petani pasti dikerjain tengkulak,” kata Dhanny.
Baca Juga: Ciptakan SDM Berdaya Saing, Kemenkop-UKM Latih Fasilitator KUKM
Dijelaskan dengan bergabung dalam koperasi, petani memiliki nilai jual yang lebih baik. Tengkulak sulit melawan karena petani terikat untuk menjual panennya ke koperasi. Akibatnya harga kopi di tingkat petani membaik. Ia menyebutkan harga green bean Rp70.000–Rp150.000/kg sedangkan harga cherry Rp5.500–Rp7.500/kg. Dikatakan, para tengkulak biasanya mengambil kopi gabah dengan harga seperempat dari harga kopi green bean.
Ia mengakui program pemerintah melalui perhutanan sosial, yang memberikan pengelolaan lahan selama 35 tahun kepada petani yang berbadan hukum koperasi sangat membantu petani. Terlebih lagi, pada umumnya petani kopi berada dekat dengan kawasan hutan. Petani dengan dukungan pemerintah dapat mengembangkan komoditas pertaniannya lebih baik.
Koperasi Kopi Mitra Malabar beranggotakan 2300 lebih petani kopi dengan luas lahan 2.250 ha. Petani tersebar di Garut, Bandung, Bogor, Sumedang. Selain itu, ada juga di Jateng, Batang, Lampung. Koperasi ini memproduksi kopi 1500 ton/tahun dengan 80 persen jenis kopi arabika.
Dhanny mengatakan pihaknya telah menghentikan ekspor kopi karena penyerapan dalam negeri sangat besar, di sisi lain margin ekspor sangat tipis.
Sebagai pengembangan bisnis, Koperasi Mitra Malabar mengembangkan juga kedai-kedai kopi di yang tersebar diberbagai daerah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ning Rahayu
Editor: Kumairoh
Tag Terkait: