Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

BI Bilang Dunia Masuki Era Baru: Globalisasi Mati, Digitalisasi Bangkit

BI Bilang Dunia Masuki Era Baru: Globalisasi Mati, Digitalisasi Bangkit Kredit Foto: Rosmayanti
Warta Ekonomi, Kuta, Bali -

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan bahwa saat ini dunia sedang memasuki era baru, yakni kematian globalisasi dan kebangkitan digitalisasi. Menurutnya, era ini ditandai setidaknya dengan empat ciri.

Pernyataan ini ia sampaikan saat konferensi pers dari Konferensi Internasional Bulletin of Monetary Economics and Banking (BMEB) ke-13 dan Call for Papers hari ini, Kamis (29/8/2019).

Ciri pertama ialah semakin kuatnya sejumlah negara yang lebih mengandalkan internal (domestik) dalam merespons ketegangan perdagangan internasional.

"Yaitu dengan terus berlangsungnya ketegangan perdagangan. Ketegangan antara Amerika dengan Tiongkok, antara Amerika dengan Eropa, dan sejumlah negara lain. Ini salah satu tanda berkurangnya globalisasi," kata Perry menjelaskan.

Baca Juga: Dorong Ekonomi, Ketua ISEI Tekankan Pentingnya Sinergi Unsur Daerah

Sebelumnya, era globalisasi mendominasi dalam perdagangan internasional karena bisa memakmurkan ekonomi berbagai negara, bahkan mendorong perdagagan internasional yang terbuka, meningkatkan pertumbuhan, dan juga meningatkan produktivitas.

"Ketegangan perdagangan ini bahaya tidak hanya bagi kedua negara (yang terlibat berperang), tapi juga semua negara," kata Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ini.

Ciri kedua, arus modal antarnegara yang semakin bergejolak (volatile). Arus modal tidak hanya dijelaskan dengan perbedaan suku bunga (yield atau return), tapi banyak juga dipengaruhi oleh risiko dan volatilitas nilai tukar.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, "Dulu saat globalisasi, arus modal antarnegara bisa lebih mudah, tapi beberapa tahun ini arus modal antarnegara volatile, nilai tukarnya juga volatile."

Selanjutnya ialah respons kebijakan dari bank sentral tidak bisa hanya mengandalkan suku bunga. Efektivitas suku bunga, khususnya di negara maju, untuk menjaga stabilitas harga dan mendorong kemajuan, menjadi kurang efektif.

"Terlihat di sejumlah negara maju, suku bunganya sudah 0%, tapi kurang mampu menjaga kestabilan harga, bahkan untuk mendorong pertumbuhan. Sehingga sejumlah negara maju melakukan kebijakan pelonggaran kuantitatif dari sisi uang beredar," tegas Perry.

Sehingga, menurutnya, respons dari kebijakan bank sentral harus dibarengi dengan kebijakan-kebijakan kuantitatifnya, juga ikut menjaga stabilitas sistem keuangan. Kebijakan makroprudensial juga diterapkan di banyak negara.

"Dengan berkurangnya efektivitas suku bunga, bank sentral perlu mengomplementer kebijakan suku bunga dengan nilai tukar, uang beredar, juga makroprudensial," katanya menyimpulkan.

Baca Juga: Balas Dendam AS-China Tak Berkesudahan, Bikin Ekonomi Global Gak Karuan!

Ciri keempat, semakin maraknya digitalisasi di bidang ekonomi dan keuangan. Munculnya digitalisasi khususnya keuangan, jasa keuangan (mobilisasi dana, pembiayaan ekonomi, sistem pembayaran) semakin banyak diberikan oleh fintech, seperti crowdfunding dan peer-to-peer lending.

"Hal ini perlu direspons oleh pengambil kebijakan, termasuk bank sentral," cetus Perry.

Empat ciri era baru ini sebelumnya disampaikan Perry saat menjadi keynote speaker, yang mengambil tema Dead of Globalization and Rise of Digitalization, pada konferensi internasional yang membahas tiga topik prioritas, yakini ekonomi digital, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas ekonomi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: