Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo meluncurkan buku berjudul Jagat Digital: Pembebasan dan Penguasaan pada Selasa (17/9/2019) kemarin di Wisma Antara, Jakarta.
Dalam buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) ini, Agus menyorot perihal mudahnya masyarakat Indonesia dalam mengakses internet sebagai sarana untuk modifikasi, komersialisasi, bahkan sarana surveillance.
Agus menilai semua sarana layanan digital yang masuk ke Indonesia benar-benar dinikmati para pengguna internet, pengguna medsos, percakapan sosial, surat elektronik, mesin pencari, dan lain-lain.
Namun di sisi lain, kebebasan mengakses layanan digital ini membuat sebagian masyarakat bisa dengan mudahnya untuk membagikan konten hoaks dengan berlindung di akun fake atau palsu. Hal ini jelas membuat para aparat penegak hukum kesulitan menelusuri orang di balik kabar hoaks tersebut.
Tampil sebagai salah satu pembicara di acara tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menyebut bahwa pemerintah saat ini telah meminta kepada semua platform media sosial untuk menyertakan nomor ponsel para penggunanya saat membuat akun.
Hal ini menurut Rudiantara sebagai langkah antisipasi serta memudahkan aparat penegak hukum untuk menelusuri akun-akun yang kerap kali menyebarkan konten hoaks di media sosial.
Baca Juga: Gagal Tangkal Hoaks, Facebook dan Google Kena Denda Rp100 Miliar?
"Kami minta agar medsos jangan masuk ke arah black social media. Mengapa? Kalau kita buka akun di Facebook, kita boleh pakai akun Gmail atau Yahoo. Padahal bisa saja email tersebut fake," ujar Rudiantara.
"Saya minta verifikasinya pakai nomor ponsel saja. Apalagi di Indonesia, kartu prabayarnya kan sudah diregistrasi. Ini penting untuk menghindari masuk ke daerah yang tidak bisa dikontrol," tambah Rudiantara.
Sebagai langkah awal, tindakan tegas dari pemerintah, Rudiantara menjelaskan, saat ini pemerintahan Jokowi tengah serius menggodok upaya Revisi Peraturan Presiden nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Sebab di dalam salah satu pasal tersebut, Rudiantara menyebut pemerintah akan mengatur perihal sanksi administratif berupa denda kepada penyedia layanan media sosial.
"Di dalam revisi PP 82 ini, kita tuliskan dimungkinkannya memberikan penalti kepada penyedia platform yang bandel. Sebab di undang-undang yang sekarang itu hanya diberi peringatan sampai tiga kali, kemudian ditutup. Kalau harus ditutup, pasti akan ada penolakan dari masyarakat," kata Rudiantara.
Atas rencana tindakan tegas Pemerintah Indonesia yang akan ditujukan kepada penyedia platform media sosial, pakar komunikasi Sony Subrata menilai hal ini memang seharusnya dilakukan Pemerintah Indonesia dari dulu.
Sony menilai apa yang terjadi di jagat media sosial Indonesia saat ini memang sangat mengkhawatirkan. Media sosial di Indonesia sudah menjadi alat penyebaran konten-konten hoaks serta beberapa ajaran radikalisme.
Baca Juga: Najwa Shihab Kasih Tips Hindari Hoaks, Katanya...
Sony berharap agar revisi PP nomor 82 segera dirampungkan agar menjadi senjata bagi Pemerintah Indonesia untuk menindak tegas para penyedia layanan media sosial yang masih memuat konten-konten tersebut.
"Saya sangat mendukung Revisi PP nomor 82 ini segera dirampungkan. Sebab saya melihat apa yang terjadi di media sosial saat ini sangat mencemaskan. Terlebih lagi pada masa kampanye Pilpres kemarin. Maraknya konten-konten hoaks serta hujatan-hujatan kepada salah satu kandidat dikhawatirkan bisa membuat perpecahan bangsa dan keresahan sosial," ungkap Sony, Rabu (18/9/2019) pagi.
"Oleh karena itu, upaya yang dilakukan pemerintah untuk bersikap tegas terhadap Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram saya setuju, demi eratnya persatuan rakyat Indonesia," tutup Sony.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: