Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kementan Dorong Pengembangan Manggis untuk Konservasi dan Mengurangi Emisi Karbon

Kementan Dorong Pengembangan Manggis untuk Konservasi dan Mengurangi Emisi Karbon Manajer Operasional PT ALC AGRO, Rusman, mengaku saat ini sudah mengembangkan manggis dalam satu hamparan lahan HGU seluas 90 hektare di Desa Kopo Kecamatan Cisarua, Bogor. | Kredit Foto: Kementan

Menurut Liferdi, saat ini Ditjen Hortikultura terus menggodog dan menyempurnakan Grand Design pengembangan Hortikultura 2020-2024 yang menyinergikan berbagai aspek terkait dari hulu hingga hilir. Khusus manggis, pihaknya mendorong pengembangan kawasan manggis yang berorientasi pasar modern dan ekspor namun tetap berwawasan lingkungan. 

"Tanaman manggis dikenal sebagai tanaman yang berumur panjang, bahkan bisa mencapai ratusan tahun. Tidak serta merta misalnya ditanam sekarang lalu bisa dipetik buahnya 2-3 tahun lagi. Untuk belajar berbuah saja paling tidak butuh 8 tahun. Jadi perlu manajemen pengelolaan kebun dan visi jangka panjang yang kuat terkait kelestarian lingkungan," katanya. 

Baca Juga: Ini Strategi Kementan Atasi Hama Penggerek Batang Padi

Dirinya menjelaskan, selama fase pertumbuhan awal, tanaman manggis butuh tanaman peneduh terutama pada periode kritis 0 - 3 tahun sejak tanam. Dalam periode tersebut bisa saja dimanfaatkan untuk menanam tanaman sela seperti albasia, pisang, atau pepaya agar dalam jangka menengah petani bisa mendapatkan penghasilan lain.

"Selain manfaat ekonomi langsung, harus diingat bahwa pengembangan kawasan manggis juga memberikan manfaat terhadap lingkungan. Nah, kalau sudah bicara kepentingan jasa lingkungan, semua pihak atau stakeholders terkait musti terlibat," tambahnya.

Manajer Operasional PT ALC AGRO, Rusman, mengaku saat ini sudah mengembangkan manggis dalam satu hamparan lahan HGU seluas 90 hektare di Desa Kopo Kecamatan Cisarua, Bogor. "Kami mungkin satu-satunya swasta di Indonesia bahkan di kawasan Asia Pasifik yang menanam manggis secara monokultur dalam satu hamparan yang luasnya mencapai 90 hektare. Target kami bisa mencapai 200 hektare. Coba perhatikan, kawasan manggis yang ada di Indonesia rata-rata masih berupa hutan, bercampur dengan tanaman buah lainnya. Kami ingin bangun kawasan percontohan manggis yang tidak semata bertujuan komersial, namun melekat visi lingkungan alam yang lestari," papar Rusman.

Rusman bercerita, pada awalnya banyak pihak menilai investasi ini sebagai langkah gila dan tidak masuk akal mengingat manggis adalah tanaman tahunan yang umur mencapai panennya relatif panjang. Biaya produksi jika dilakukan pemeliharaan intensif dianggap tidak layak.

"Bayangkan, kami memulai tanam pada 2008. Baru di tahun 2016 manggis mulai belajar berbuah. Ada 100 orang yang bekerja di kebun ini. Banyak pihak yang memandang skeptis dan sinis. Belum lagi tanaman manggis ini butuh perlakuan ekstra pada awal-awal penanaman. Awalnya banyak yang iseng mencabuti tanaman manggis kami hingga banyak yang mati," kenang Rusman sedih.

Namun, berkat niat dan semangat filantropi yang kuat untuk melestarikan lingkungan dari pemilik perusahaan, Abdul Latief yang tak lain Mantan Menaker era Presiden Soeharto, upaya pengembangan manggis di kawasan tersebut kini mulai menampakkan hasil menggembirakan. 

"Konsep besar beliau adalah memadukan antara kehutanan dan buah produktif untuk konservasi lingkungan. Bagaimana gerakan penghijauan massal di kawasan atas Bogor mampu menanggulangi banjir di sepanjang DAS Ciliwung. Sekarang ini saja dengan menanam manggis 90-an hektaer sudah terasa manfaatnya," terang Rusman.

Rusman bercerita, kalau dulu musim kemarau, masyarakat sekitar kesulitan air. Saat ini, air bisa mengalir sepanjang tahun. "Kualitas udara di kawasan ini juga dirasakan masyarakat makin bersih dan fresh. Aneka jenis burung yang tadinya jarang dijumpai kini semakin banyak muncul," pungkas Rusman senang.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Puri Mei Setyaningrum
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: