Penjualan di toko-toko Uniqlo Fast Retailing Co Ltd. anjlok setelah warga Korea Selatan memboikot barang-barang asal Jepang, termasuk Uniqlo. Boikot terjadi menyusul kebijakan Pemerintah Jepang yang membatasi ekspor bahan baku teknologi tinggi ke Korsel.
Alih-alih mengurusi penjualan, pendiri Uniqlo, Tadashi Yanai, justru fokus ke arah lain, yakni rencana suksesi di perusahaannya. Orang terkaya di Jepang menurut Forbes itu awal tahun ini berusia 70 tahun.
Baca Juga: Bos Uniqlo Ingin Posisinya Digantikan Perempuan
Yanai, sebut Reuters, pernah menyatakan akan pensiun pada usia 65 tahun. Namun, dia membatalkan rencananya ketika waktunya tiba. Dia tidak ingin kedua putranya, Kazumi Yanai dan Koji Yanai, menduduki jabatan teratas meski tahun lalu keduanya dipromosikan menjadi jajaran direktur perusahaan.
Kemungkinan kandidat pengganti Yanai adalah Kepala Keuangan Takeshi Okazaki. Okazaki bergabung dengan Fast Retailing dari McKinsey & Co pada 2011. Ada pula Kepala Operasi Uniqlo Cina, Pan Ning. Kepala Operasi Uniqlo Jepang, Maki Akaida, juga dianggap sebagai kandidat setelah Bloomberg News melaporkan Yanai lebih memilih pemimpin wanita.
Tugas pemimpin selanjutnya tidak hanya mempertahankan pertumbuhan di Cina, juga menangani masalah jangka panjang seperti membangun merek di Amerika Serikat. Investor juga ingin memperoleh lebih banyak hasil dari investasi teknologi terkini termasuk checkout otomatis dan sistem logistik yang canggih.
Berdasarkan data Thomson Reuters, analis rata-rata memperkirakan laba operasi Fast Retailing Co Ltd. sebesar 258,6 miliar yen atau US$2,41 miliar untuk tahun ini, naik 9,5 persen dari tahun sebelumnya. Analis melihat kenaikan 14 persen di tahun berjalan, terbantu oleh penjualan di Cina dan pasar-pasar baru.
Namun, beberapa pasar diperkirakan menurun sejak Uniqlo dan bisnis Jepang lainnya menjadi sasaran boikot di Korsel. Kondisi ini menjadi peringatan atas risiko ekspansi ke luar negeri. Uniqlo diketahui baru saja membuka toko pertamanya di India. Pasar di Malaysia dan Indonesia juga sedang berkembang.
Nikkei melaporkan, penjualan di Korsel yang menyumbang sekitar 8 persen dari penjualan bisnis utama Uniqlo Fast Retailing turun 40 persen dari tahun ke tahun. Terlihat pada bulan Juli dan lebih lagi pada Agustus.
Analis J.P Morgan Dairo Murata baru-baru ini juga menurunkan perkiraan pendapatan Fast Retailing untuk tahun ini sebesar 4,6 persen dan memangkas target harga saham menjadi 68.000 yen dari sebelumnya 70.000 yen. Saham terakhir diperdagangkan di sekitar 61.300 yen, naik 15 persen pada tahun ini.
"Kami perkirakan penurunan dua digit dalam penjualan dan penurunan sekitar 40 persen laba operasional untuk bisnis Korea Selatan," kata Murata. Apresiasi yen terhadap yuan Cina merupakan faktor negatif jangka pendek lainnya, katanya.
Pertumbuhan terbesar Fast Retailing dalam beberapa tahun terakhir terjadi di Cina. Toko Uniqlo pertama dibuka pada tahun 2002. Kini, sudah lebih dari 700 lokasi. Perusahaan mengharapkan pendapatan di Cina tumbuh hingga 1 triliun yen pada tahun fiskal 2022 mendatang.
Sebaliknya, pasar Jepang menunjukkan sedikit pertumbuhan. Data penjualan toko yang sama pada bulan September menunjukkan penurunan 4,2 persen dari tahun sebelumnya. Para analis berharap penjualan lebih kuat lagi menjelang kenaikan pajak konsumsi bulan ini.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: