Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Rapor Jokowi di Lima Tahun Pertamanya

Rapor Jokowi di Lima Tahun Pertamanya Kredit Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma'ruf Amin untuk pemerintahan periode 2019-2024 tanggal 20 Oktober 2019 pukul 14.30 WIB tinggal hitungan jam. Beberapa saat kemudian setelah dilantik, Presiden Jokowi dijadwalkan mengumumkan susunan menteri yang akan menjadi pembantunya di dalam kabinet.

 

Dalam beberapa pekan terakhir, nama-nama calon menteri beredar luas di media sosial dengan berbagai versi. Spekulasi bermunculan. Ada yang memprediksi skuad kabinet akan didominasi wajah lama, ada juga yang berharap munculnya sederet tokoh muda seperti yang sempat digadang-gadang oleh Presiden Jokowi.

 

Dalam sebuah negara, perekonomian salah satu penentu kemajuan atau kesejahteraan penduduk. Jika mampu mengelola sumber daya yang ada dengan baik melalui pembangunan yang merata maka perekonomian akan tumbuh positif pada level yang ditargetkan.

 

Dalam lima tahun pemerintahan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada level 5 persen. Tahun 2014 pertumbuhan ekonomi tercatat 5,01 persen, tahun 2015 turun menjadi 4,87 persen, tahun 2016 sebesar 5,03 persen. Pada tahun 2017 ekonomi hanya tumbuha 5,07 persen dan menguat pada 2018 sebesar 5,17 persen.

 

Baca Juga: Sampai Tuntas Memerintah Periode Pertama, Jokowi Belum Juga Selesaikan Kasus Novel

 

Sementara pada tahun 2019, hingga semester I atau 6 bulan menjelang berakhirnya pemerintahan Jokowi periode I, pertumbuhan ekonomi tercatat 5,06 persen.

 

Secara keseluruhan data tersebut, Pemerintah mengklaim pertumbuhan ekonomi pada level 5 persen merupakan yang terbaik, di tengah ketidakpastian perekonomian global. Pasalnya, dibandingkan dengan negara-negara G-20, pertumbunan ekonomi Indonesia terutama pada tahun 2018 sebesar 5,17 persen, merupakan tiga terbesar setelah India dan Cina.

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kondisi perekonomian Indonesia tetap bisa berada di atas 5 persen, meski terjadi perang dagang Amerika Serikat-China dan sejumlah negara sejak tahun 2018. Ia mengakui bahwa tekanan terbesar saat ini terlihat pada ekspor yang mengalami negatif growth, yang akan mengurangi daya dorong ekonomi.

 

"Ekonomi dunia sedang mengalami penurunan akibat perang dagang sejak tahun 2018. Dampaknya mulai terasa sekali pada tahun 2019. Untuk untuk itu, kita tetap bersyukur mampu menjaga pertumbuhan di atas 5 persen dengan bekerja keras dan waspada," kata Sri Mulyani. 

 

Dalam buku "Lima Tahun Maju Bersama, Capaian Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla" yang dirilis Kantor Staf Presiden (KSP) beberapa saat sebelum lembaga itu dibubarkan, bahwa pertumbuhan berada di level 5 persen per tahun, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan menurun. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, angka kemiskinan mencapai level satu digit, dibarengi dengan angka ketimpangan pendapatan yang terus menurun.

 

Baca Juga: Jokowi Minta Maaf ke Para Menteri Karena...

 

Secara statistik, rasio penduduk miskin dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan. Pada tahun 2014 jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 10,96 persen, tahun 2015 sebesar 11,13 persen, tahun 2016 turun menjadi 10,7 persen, 2017 sebanyak 10,12 persen, tahun 2018 menjadi 9,66 persen.

 

Dari sisi pengelolaan ekonomi, selama 5 tahun terakhir tingkat inflasi rendah terjagapada level 3 persen atau yang terendah dalam satu periode pemerintahan sejak era reformasi. Ini menggambarkan bahwa daya beli masyarakat terjaga dan terus tumbuh.

 

Dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan diikuti dengan inflasi rendah, Pemerintahan Jokowi-JK mampu menumbuhkan 11,21 juta lapangan kerja, dengan angka pengangguran terus menurun atau terendah sejak 20 tahun terakhir.

 

Sejak 2015 alokasi subsidi energi dikurangi, dialihkan untuk belanja produktif, seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. Subsidi tepat sasaran mendorong produktivitas dan pemerataan ekonomi.

Sedangkan sisi pengelolaan ekonomi makro, pemerintah mengklaim sektor moneter dan keuangan terkendali. Ini tercermin dari cadangan devisa Indonesia tinggi dan aman, setara dengan pembiayaan 7,1 bulan impor.

 

 

Direktur Keuangan dan Strategi Bank Mandiri Panji Irawan menyebutkan stabilitas ekonomi Indonesia masih terjaga di tengah berbagai tantangan ekonomi global yang semakin besar dan penuh ketidakpastian. Perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina telah berdampak negatif terhadap penurunan kinerja ekspor melalui penurunan harga-harga komoditas seperti harga minyak Kelapa sawit (CPO) yang terus tertekan ke tingkat sekitar 500 dolar AS per ton.

 

“Padahal harga rata-rata 2017 itu 648 dolar AS per ton dan 2018 turun lagi jadi 556 dolar AS per ton,” ujarnya.

 

Hal sama juga terjadi pada harga batu bara yang terus menurun hingga 65 dolar AS per ton. Sedangkan harga rata-rata pada 2017 di atas 100 dolar AS per ton, dan 2018 sebesar 88,3 dolar AS per ton.

 

Baca Juga: Mumpuni, Jokowi Disarankan Pilih Anak Buah Prabowo Jadi Kepala BIN

 

Meskipun perkembangan ekonomi dunia kurang mendukung terhadap perekonomian nasional, namun Panji menilai pertumbuhan yang terjadi di Indonesia masih cukup baik dibandingkan dengan beberapa negara emerging marketlainnya.

 

 Ia merujuk ke sejumlah negara, seperti Turki pada kuartal I terkontraksi sebesar 2,4 persen dan kuartal II kembali mengalami hasil negatif yaitu 1,5 persen (YoY). Selain itu, beberapa negara berkembang lain juga mencatatkan pertumbuhan yang lebih rendah daripada Indonesia seperti Malaysia 4,9 persen, Thailand 3,7 persen, Brazil 1,01 persen, dan Rusia 0,9 persen.

 

Terlepas dari apapun visi yang diemban, pengelolaan ekonomi makro, terutama pertumbuhan ekonomi, inflasi, ketimpangan pendapatan, tingat kemiskinan dan pengangguran selalu menjadi indikator penting untuk menilai pencapaian sebuah pemerintahan.

 

Salah satu program Pemerintah untuk mencapai visi tersebut yaitu adalah mewujudkan Indonesia Sentris, yaitu menggeser orientasi pembangunan dari daerah yang skala ekonomi besar ke pinggiran yang skala ekonominya kecil, sehingga terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Program ini, menurut data Kementerian ESDM bahwa rasio elektrifikasi hingga semester I 2019 telah mencapai 98,8 persen. BBM Satu Harga Sudan mencakup pada 171 titik, dimana tidak ada lagi penjualan BBM yang terlalu mahal di satu daerah karena penyaluran dan distribusinya semakin diperluas.

 

Di bidang infrastruktur, selama 5 tahun pemerintahan Jokowi-JK, capaian pembangunan infrastruktur meliputi 3.194 km jalan perbatasan, 1,378 km jalan tol, sepanjang 811,89 km rel kereta api, 136 pelabuhan, 15 bandara.

Sejalan dengan itu, pembangunan bidang infrastruktur pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan, Pemerintahan Presiden Jokowi-JK dalam lima tahun terakhir telah menyelasikan pembangunan 65 bendungan, sekitar 5.821 embung, 1 juta ha pembangunan baru jaringan irigasi, 3,02 juta ha rehabilitasi irigasi, dan 3,21 juta ha réhabilitasi irigasi tersier.

 

 

Kerja keras

Meskipun berbagai indikator ekonomi mengalami pertumbuhan, namun daya sisi daya saing global Indonesia turun dari posisi 45 pada 2018, menjadi posisi 50 pada 2019. Demikian juga dengan realisasi investasi. Pada tahun 2015 hingga 2018 inventasi terus mengalami peningkatan, namun memasuki tahun 2019 diproyeksikan terjadi penurunan realisasi investasi khususnya Penanaman Modal Asing (PMA).

 

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menyebutkan daya saing menjadi salah satu pekerjaan rumah yang perlu ditingkatkan dalam pemerintahan baru Presiden Joko Widodo periode 2019-2024. "Daya saing dan produktivitas di pasar internasional hasilnya masih belum cukup terlihat," ujar Andri.

 

Baca Juga: Jokowi Dinilai Gagal Bangun Ekonomi, PKS Kasih Wejangan

 

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut regulasi yang rumit menjadi salah satu penyebab daya saing Indonesia menurun, namun kualitas sumber daya manusia (SDM) juga berkontribusi terhadap penurunan daya saing.

 

Tenaga kerja dari sejumlah negara di Asia Tenggara banyak bekerja di Indonesia, salah satu penyebabnya adalah penyerapan tenaga kerja di SMK dan vokasi belum optimal.

 

Selain dari sisi sumber daya manusia, yang juga perlu dilakukan adalah membuat perencanaan yang matang khususnya dalam mewujudkan regulasi yang sederhana dan fleksibel. Terbukti, dampak perang dagang dengan Amerika Serikat, Cina merelokasi sekitar 30 perusahaan ke Asia Tenggara, namun yang dipilih bukan Indonesia, tetapi Vietnam. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: