Menurut Prabianto, dalam mengambil keputusan, pemerintah akan mempertimbangkan banyak hal seperti historis adanya perubahan-perubahan regulasi pemerintah pada saat itu yang memungkinkan seseorang atau lembaga membangun kebun. Prinsipnya, kebijakan itu harus pro rakyat dan mampu meningkatkan kelembagaan petani sawit serta memastikan setiap perkebunan menerapkan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Prabianto menambahkan, dalam penetapan kebijakan, pemerintah mempertimbangkan beragam pendapat. Jika kebun tersebut menjadi ilegal karena regulasi tumpang-tindih, bisa saja diajukan untuk pelepasan. Opsi lain berupa pemberian status legal atas kebun bisa dengan memenuhi beberapa persyaratan seperti menyelesaikan kewajiban yang selama ini belum dijalankan seperti pembayaran pajak.
"Hanya saja, karena luasan lahannya yang sangat besar, dibutuhkan waktu dan proses untuk menyelesaikan persoalan ini," imbuh Prabianto.
Terpisah, Pengamat Hukum Kehutanan dan Lingkungan Sadino berpendapat, kebijakan izin satu daur penanaman sawit atau sekitar 35 tahun lebih dapat diterima masyarakat dibandingkan pemutihan, land amnesty, dan sebagainya yang pada akhirnya sulit dieksekusi.
Kebijakan itu juga menunjukkan apresiasi pemerintah terhadap hak masyarakat yang telah berusaha secara legal dan turun-temurun pada konsesi yang belakangan diklaim sebagai kawasan hutan. Selain praktis, kebijakan itu memberi kepastian hukum dan keberlanjutan usaha.
Selama bertahun-tahun, masyarakat dibuat bingung dan tidak nyaman dengan penyelesaian konflik lahan berlarut-larut. Padahal, sebagian besar izin diperoleh mengikuti prosedur UU melalui pemerintah daerah. Sayangnya, izin-izin itu dengan mudah dipatahkan hanya melalui putusan menteri yang sebenarnya telah dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Cahyo Prayogo