Menelisik Latte Factor yang Membuat Milenial Sulit Menabung
Dewasa ini kopi kekinian kian menjamur dalam kehidupan sehari-hari. Alasannya kopi tersebut sangat mudah ditemukan di berbagai tempat. Kemudahan memesannya pun menjadi alasan lain karena cukup memesan dengan klik melalui aplikasi yang nantinya bakal diantar sampai ke tujuan.
Kemudian, Anda cukup dengan memesan transportasi daring untuk bergeser dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Apabila hal-hal tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka itu bisa jadi Latte Factor Anda atau orang di sekitar Anda.
Latte Factor merupakan istilah yang mengacu pada pengeluaran kecil tidak penting yang bisa ditiadakan, namun rutin dilakukan sehari-hari. Ini kali pertama diperkenalkan David Bach, salah seorang pakar keuangan yang terkenal dengan rangkaian seri bukunya.
Baca Juga: Kopi Puntang Jabar Sabet Juara 1 Indonesia Cupping Kontes 2019
Latte Factor tidak hanya mengenai kopi yang kini semua orang berlomba-lomba untuk berjualan di setiap sudut kota. Namun juga berbagai pengeluaran lainnya yang tidak disadari seperti membeli air mineral kemasan, belanja cemilan, biaya transfer antar bank hingga biaya top-up uang elektronik.
Latte Factor memang lebih banyak menjangkiti kaum milenial, generasi yang sudah terbiasa dengan kecanggihan teknologi. Lalu diikuti semakin mudahnya berbagai akses kebutuhan hidup melalui gadget menjadikan mereka lebih gampang mengeluarkan uang hanya untuk eksistensi di media sosial, ikut-ikutan tren atau memuaskan nafsu belanja yang disesali kemudian.
"Latte Factor bisa muncul dengan mudah hanya karena kebiasaan, tekanan sosial hingga kontrol diri yang lemah. Tanpa disadari Latte Factor menggerogoti penghasilan hingga sulit untuk menabung apalagi berinvestasi," Managing Partner Grant Thornton Indonesia, Johanna Gani dalam keterangan resminya, Selasa (29/10/2019).
Lantas, apakah hal tersebut memiliki hubungan dengan rendahnya minat kaum milenial untuk membeli properti? Sebagai bagian dari investasi jangka panjang, properti tampaknya belum tertanam dalam pola pikir maupun mindset generasi milenial bahwa tidak hanya berfungsi sebagai instrumen investasi namun juga kebutuhan pokok.
Dengan banyaknya Latte Factor hingga faktor lainnya seperti tren traveling dengan tujuan eksplorasi berbagai tempat selagi muda semakin menjauhkan generasi milenial dari motif memiliki rumah. Berdasarkan house price to annual income ratio atau harga rumah berbanding pendapatan per tahun, harga properti yang sebaiknya dibeli maksimal tiga kali dari penghasilan tahunan.
Berdasarkan hal tersebut, Grant Thornton Indonesia menyarankan untuk temukan apa saja Latte Factor Anda. Mulai dengan catat pengeluaran harian sejak mulai beraktivitas dan telusuri apa saja pengeluaran yang tidak penting. Selanjutnya, lakukan efisiensi dan mulai fokus pada kebutuhan pokok untuk membentuk kondisi finansial yang lebih stabil.
Apabila pengeluaran untuk Latte Factor ini bisa dikontrol dan diminimalisir, tentu ada potensi dana yang bisa ditabung untuk down payment properti impian atau diinvestasikan di instrumen lainnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: