Menurut Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Indonesia harus menunjukkan komitmen dan keseriusannya dalam menaati perjanjian dagang internasional, salah satunya melalui penghapusan hambatan nontarif dan juga menghilangkan restriksi (pembatasan) pada perdagangan internasional.
Indonesia sudah menandatangani General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) WTO pada 1994 lalu yang menyebutkan bahwa hambatan nontarif tidak boleh menjadi pembatasan dalam perdagangan. Namun pada kenyataannya, Indonesia justru membatasi impor pada beberapa komoditas. Walaupun pemerintah sudah meratifikasi GATT WTO tersebut melalui Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 1994, peraturan turunannya justru menjadi hambatan nontarif.
Baca Juga: Ini Saran CIPS Soal Alkohol Ilegal
Galuh Octania, peneliti CIPS, mengatakan bahwa salah satu komoditas pangan yang terkena dampak penerapan hambatan nontarif adalah beras. Hambatan tersebut pada akhirnya berkontribusi pada kenaikan harga beras secara signifikan yang juga memengaruhi asupan kalori orang karena ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan gizi makanan bagi keluarga mereka, terutama orang miskin.
Saat ini, lanjut Galuh, produktivitas beras dalam negeri tidak cukup tinggi untuk menjaga kestabilan harga beras. Produktivitas beras musiman telah berfluktuasi sejak 2013, mencapai rata-rata hanya 5,19 ton/hektare per tahun. Sementara, pemerintah yang mengklaim hasil produksi beras dalam negeri meningkat setiap tahun dan mengalami surplus malah secara konsisten terus mengimpor beras dari luar negeri. Hal ini tentu bertentangan dengan klaim bahwa produksi dalam negeri dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.
"Tingginya harga beras diperburuk oleh tingginya tarif impor. Tarif Rp450/kilogram diberlakukan untuk semua jenis beras impor, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6 Tahun 2017. Lalu UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012 memprioritaskan pengembangan produksi tanaman pangan domestik. Undang-undang tersebut menekankan pada larangan impor jika produksi dalam negeri cukup untuk memenuhi permintaan," jelas Galuh dalam keterangan tertulis, Jumat (8/11/2019).
Selain pembatasan tarif dan UU, impor beras juga dipersulit oleh proses impor yang panjang. Pemerintah telah menunjuk Bulog sebagai importir tunggal beras kualitas medium. Kewenangan ini menjadikan mereka memiliki hak monopoli atas komoditas tersebut. Dengan demikian, keputusan untuk mengimpor beras hanya dapat dilakukan setelah kesepakatan dicapai melalui rapat koordinasi antara beberapa kementerian di Indonesia yang terkadang memakan waktu lama.
Hasil penelitian CIPS menyimpulkan bahwa Bulog dapat menghemat lebih dari US$21 juta kalau Bulog dapat membeli beras ketika harganya lebih rendah dari Januari 2010 hingga Maret 2017. Selain itu, perkiraan produksi beras domestik yang terlalu tinggi juga mengakibatkan munculnya optimisme bahwa pasokan beras dalam negeri akan memenuhi permintaan domestik dan impor beras tidak akan diperlukan. Ketika kesimpulan ini terbukti tidak benar, biaya impor beras akan meningkat karena tindakan yang tidak akurat pada kebijakan perdagangan.
Lanjut CIPS, Harga beras domestik secara konsisten lebih tinggi dari harga internasional dan terus meningkat secara bertahap sejak 2009. Pada Juli 2019, harga beras dalam negeri dua kali lipat dari harga internasional yaitu sebesar Rp5.923/kilogram. Sementara, harga beras di Indonesia berkisar antara Rp9.450 untuk beras medium hingga Rp12.800 untuk beras premium.
Pemerintah ingin memangkas peraturan yang menghambat investasi dan ingin meningkatkan ekspor Indonesia. Namun, menurut CIPS, keinginan itu bertolak belakang dengan kebijakan proteksi impor. Birokrasi yang panjang dan memakan waktu lama, pembatasan kuota dan perizinan, penentuan waktu impor, dan hambatan nontarif lainnya akan membawa dampak negatif bagi investasi dan nilai ekspor. Kinerja investasi dan ekspor Indonesia pada akhirnya akan memengaruhi perekonomian Indonesia secara agregat.
Baca Juga: CIPS: Sudahkah Indonesia Mencapai Ketahanan Pangan?
"Saat ini banyak produk Indonesia membutuhkan bahan baku yang tidak dapat disediakan oleh dalam negeri sehingga butuh melewati impor. Kalau pemerintah memberikan pembatasan terhadap impor yang berlebihan, tidak hanya akan berdampak pada kerugian yang dirasakan oleh negara eksportir, tetapi dapat menghambat pertumbuhan investasi di dalam negeri. Belum lagi produk Indonesia yang diekspor akan mengalami penurunan nilai," ungkap Galuh.
Proteksi dan hambatan nontarif dalam perdagangan ini tercermin pada peringkat Indonesia di International Trade Barrier Index yang dirilis Property Rights Alliance. Indonesia berada di posisi 72 dari 86 negara. Di antara negara-negara ASEAN, Singapore menduduki peringkat pertama dalam indeks ini. Indonesia kalah dari Malaysia dan Vietnam yang duduk di peringkat 55 dan 67. Namun, Indonesia masih lebih baik dari Filipina dan Thailand yang berada di peringkat 78 dan 83.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: