Direktur Generasi Optimis Research and Consulting (GORC), Frans Meroga Panggabean menilai bahwa bisnis start-up memiliki celah kegagalan cukup besar. Bahkan bisnis tersebut berpotensi menyebabkan bubble (gelembung) ekonomi.
"Dalam pandangan saya fenomena gelembung spekulatif dalam bisnis start-up ini mulai muncul. Tinggal tunggu gelembungnya meletus," katanya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Hal tersebut sekaligus menanggapi kabar mengejutkan perusahaan start-up WeWork dengan bisnis utama berbagi ruang kerja terancam bangkrut, dan akan mem-PHK 4.000 karyawannya.
Diberitakan sebelumnya, oleh New York Times, tidak kurang dari US$1,25 miliar kerugian yang diderita WeWork yang telah menyandang predikat Decacorn dengan nilai valuasi lebih dari US$10 miliar. Bahkan, nilai valuasi perusahaan start-up yang berbasis di New York, AS tersebut, yang semula mencapai US$50 miliar, menjadi hanya kurang dari US$5 miliar.
Baca Juga: Keren! CEO Ruang Guru Raih CEO Startup of The Year
Baca Juga: Seberapa Hebat Johny G Plate Bawa Startup Naik Level ke Unicorn & Decacorn?
Eits, kejutan belum selesai, Softbank Group raksasa investasi dari Jepang juga sebagai investor utama dari WeWork dan Uber menyatakan bahwa merugi sampai Rp100 triliun akibat anjloknya nilai valuasi Uber dan WeWork.
Selain menderita kerugian mencapai US$ 5 Miliar, Uber sang pionir taksi online berpredikat Hectocorn itupun mengalami terjun bebasnya nilai valuasi menjadi kurang dari US$ 50 Miliar di kuartal II tahun 2019.
Mendapati kenyataan prahara yang menimpa WeWork dan Uber membuat publik kaget dan seakan tak percaya Uber yang menjadi pionir taksi online sejak 10 tahun lalu serta telah beroperasi di 785 kota metropolitan dan 173 negara, nilai valuasinya terjun bebas sedemikian drastis.
Bahkan kekhawatiran pun terjadi, Uber saja bisa rontok, bagaimana dengan Gojek? WeWork saja bisa tumbang, bagaimana Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan OVO?
Fenomena Bakar Uang
Lulusan MBA dari Grenoble Universite, Perancis itu menambahkan, "Coba kita perhatikan, Forbes pernah merilis angka kegagalan dalam bisnis start-up itu mencapai 90 persen. Masalahnya sekarang start-up punya citra sebagai 'satu-satunya' bisnis yang sedang berkembang dan populer, tanpa melihat potensi kegagalannya yang besar. Saya menduga akan terjadi start-up bussiness bubbles, tapi semoga saya keliru," ujar Frans.
Dalam riset Generasi Optimis Research & Consulting (GORC) terungkap bahwa gejala latah bisnis digital kali ini hampir sama seperti yang terjadi pada tahun 2000. Kala itu muncul fenomena yaitu banyak perusahaan internet yang sempat mempunyai nilai triliunan berakhir gagal tanpa nilai sama sekali.
Fenomena ini dikenal dengan internet bubble. Pets.com bangkrut, diikuti dengan Boo.com, Webvan, hingga semua saham perusahaan internet turun 75 persen.
Para pemodal ventura sangat mudah memberikan pendanaan saat itu. Sebab, mereka berharap bisa segera balik modal begitu perusahaan itu IPO dan mendapat nilai tinggi.
Dengan derasnya kucuran uang, startup internet ini berlomba untuk menjadi besar dengan instan. Mereka banyak boros untuk promosi, bahkan 90% anggaran dipakai untuk iklan agar bisa segera dikenal. Mereka juga rajin bakar uang menawarkan layanan gratis atau promo diskon dengan harapan bisa segera meraup pasar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: