Beras merupakan komoditas penting bagi orang Asia Tenggara. Dalam proses transisi dari swasembada pangan ke ketahanan pangan, banyak negara menggunakan State Owned Enterprise (STE) atau perusahaan berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menjalankan tata niaga beras dan mencapai pembangunan pertanian lainnya.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan, meskipun sebagai lembaga yang berwenang, tidak jarang BUMN dikritisi karena kebijakan monopoli yang justru membawa kerugian. Untuk itu, penting menganalisis efektivitas BUMN dalam mencapai tujuan ini sekaligus mempertimbangkan potensi distorsi pasar yang dapat timbul karena peranan mereka di dalam pasar.
Di Indonesia, Badan Urusan Logistik (Bulog) pada awalnya didirikan untuk memastikan keamanan penyediaan makanan di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Di bawah rezimnya, komoditas yang dikendalikan Bulog tidak hanya beras, tetapi juga gula, gandum, tepung, kedelai, pakan ternak, dan bahan makanan lainnya.
Baca Juga: Stok Bulog Tak Mampu Tahan Naiknya Harga Beras
Krisis ekonomi pada 1997 dan intervensi IMF memaksa Bulog kehilangan kendali atas komoditas pangan, kecuali beras dan gula. Belakangan Bulog hanya ditugasi untuk mengurus beras. Secara historis, Bulog selalu mengimpor beras atas nama pemerintah.
"Badan ini memiliki mandat hukum sebagai importir beras satu-satunya di negara itu, dengan pengecualian, sektor swasta diizinkan mengimpor beras untuk keperluan industri dan varian beras khusus," ungkap Galuh dalam keterangannya, Selasa (3/12/2019).
Sambung Galuh, sistem Bulog telah dikritik lantaran impor beras bergantung pada pertemuan koordinasi antarkementerian yang menghasilkan pengambilan keputusan yang tidak efisien, akibatnya tertinggal dari perubahan harga beras di pasar internasional.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: