Perempuan Indonesia Ini Dulu Anggota ISIS, Kini Perangi Radikalisasi
Naila Syafarina, seorang perempuan Indonesia, masih berusia 19 tahun ketika ia bepergian ke Suriah bersama keluarganya pada 2015. Mereka pergi ke negara yang dilanda perang itu untuk bergabung dengan kelompok teroris ISIS.
Semuanya berawal ketika saudara laki-lakinya mencari bahan bacaan agama di internet dan kemudian berkenalan dengan seseorang secara online yang kemudian membujuknya untuk pergi ke Suriah.
"Saudara saya sedang mencari pengetahuan agama ketika dia ingin hidup seperti era Nabi (Muhammad)," katanya dalam diskusi panel baru-baru ini di Bandung mengenai radikalisasi online kaum muda di seluruh negeri.
Baca Juga: Rusia: ISIS Ingin Jadikan Afghanistan Markas Baru
"Dari sana, dia merasa bahwa ISIS menjalani kehidupan itu, pada masa Nabi, jadi dia ingin mencoba untuk pergi ke sana," lanjut Naila.
Saudara Naila akhirnya berhasil membujuk keluarga untuk pergi ke Suriah. Tetapi kehidupan di bawah pemerintahan ISIS benar-benar berbeda dari apa yang dijanjikan kelompok teroris itu secara online.
Bertekad untuk keluar dari kenyataan pahit di Suriah, Naila dan keluarganya berhasil kembali ke Indonesia pada tahun 2017.
Naila, sekarang berusia 23 tahun, bersama dengan beberapa anak muda Indonesia yang juga sempat bergabung dengan ISIS, kini gencar mengadvokasi para pemuda tentang bahaya radikalisasi online. Radikalisasi secara online telah menjadi perhatian utama dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, negara mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Dia telah secara aktif berkampanye untuk anti-radikalisme di Indonesia, berkeliling negeri untuk memberi nasihat kepada anak muda tentang mencari keselamatan sambil mengakses informasi di internet.
"Carilah pendapat kedua dan ketiga. Setelah itu, jangan langsung menerimanya, teruslah berpikir kritis," kata Naila, sambil menambahkan bahwa banyak ayat dalam kitab suci Muslim, Alquran, meminta orang untuk berpikir.
Kembali dari Suriah
Naila adalah satu dari ratusan orang yang kembali ke rumah setelah menghabiskan waktu di Suriah. Ada sekitar 600 warga negara Indonesia yang telah kembali ke rumah setelah bergabung dengan ISIS di Suriah. Angka itu merupakan data dari Civil Society Against Violent Extremism (C-SAVE), sebuah jaringan organisasi masyarakat sipil yang memerangi ekstremisme kekerasan di Indonesia.
"Di antara mereka, ada sekitar 20 persen yang siap untuk bergabung kembali dengan masyarakat," kata Mira Kusumarini, direktur C-SAVE, kepada Voice of America, Jumat (27/12/2019).
Baca Juga: Al-Baghdadi Tewas, AS: ISIS Incar Asia Tenggara untuk Dijadikan Markas
"Lebih mudah untuk bekerja dengan mereka yang kembali karena mereka telah melihat janji palsu di Suriah, yang benar-benar berbeda dari apa yang dikatakan propaganda ISIS," ujarnya.
Menurut para pejabat Indonesia, ada sekitar 30 petempur ISIS dari Indonesia yang kini dipenjara oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung Amerika Serikat (AS) di Suriah. SDF sendiri mengatakan telah menahan lebih dari 2.000 petempur ISIS asing.
Sekembalinya dari Suriah, mantan anggota ISIS menerima kursus deradikalisasi yang disponsori oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Namun terlepas dari upaya BNPT, para ahli mengatakan internet tetap menjadi platform paling populer untuk menyebarkan radikalisme dan ekstremisme di kalangan anak muda di Indonesia dan di tempat lain.
"Di Indonesia, Facebook adalah saluran yang disukai (untuk ekstremis)," kata Kusumarini. "Calon yang direkrut pertama kali terpapar. Kemudian mereka dapat mencari (informasi) sendiri dan kemudian mereka bertemu. Setelah itu mereka melanjutkan menggunakan saluran pribadi, seperti Telegram."
Ketika perusahaan-perusahaan seperti Facebook dan Twitter telah meningkatkan tindakan keras mereka terhadap kelompok-kelompok ekstremis online, ISIS masih mengandalkan platform media sosial tertentu untuk komunikasi internal dan rekrutmen.
Menurut sebuah laporan yang dirilis pada bulan Juni oleh The George Washington University's Program on Extremism, Telegram berfungsi "sebagai platform online yang stabil untuk konten pro-ISIS, ekosistem untuk membangun jaringan ekstremis, alat komunikasi internal yang efektif dan aman, dan forum untuk merekrut anggota baru ISIS."
Baca Juga: Lakukan Langkah Benar, Inggris Pulangkan Anak Anggota ISIS dari Suriah
Para Pengkhotbah Terlibat
Pihak berwenang Indonesia mengatakan mereka semakin banyak melibatkan tokoh agama dalam program deradikalisasi mereka. Habib Husein Ja'far al-Hadar, seorang pengkhotbah yang videonya populer di kalangan anak muda di Indonesia, menawarkan tiga cara untuk mengurangi dampak konten radikal di internet.
"Jika Anda mencari bahan-bahan seperti ceramah agama, pastikan sumber ceramahnya jelas dan pengkhotbahnya memiliki reputasi yang baik," katanya saat memberikan sambutan di acara Bandung.
"Kedua, lihat apakah ceramah itu menyebarkan cinta atau kebencian. Jika disampaikan dengan cara yang tidak sopan, meskipun itu benar, Anda memiliki hak untuk menolak. Nabi dikirim dengan moralitas kesopanan," katanya.
"Ketiga, jika ceramah mengajarkan kekerasan, maka pergilah. Pada dasarnya setiap orang diberi hati yang penuh cinta oleh Tuhan," imbuh Habib Husein.
Habib Husein mengatakan, untuk tujuan ini, ia telah menghasilkan lebih dari 70 video tentang Islam moderat. Naila, yang kini jadi aktivis pemerang radikalisasi, percaya cara efektif untuk mengatasi ekstremisme pemuda adalah dengan mendorong dialog antaragama.
"Terus terlibat dalam percakapan dengan orang lain, terutama yang dari berbagai etnis (dan) agama. Inilah yang membuat kita lebih berpikiran terbuka," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Shelma Rachmahyanti
Tag Terkait: