Industri perbankan selama ini selalu identik dengan proses transaksi yang sangat detil, rigid, kompleks dan dilengkapi dengan sistem keamanan yang berlapis. Tapi kini masyarakat telah demikian akrab dengan berbagai layanan yang serba praktis, simpel, mudah dan mengedepankan kenyamanan. Lalu, bagaimana respons perbankan dalam menyikapinya?
***
Reyhan masih bermalas-malasan. Hari mulai beranjak siang. Namun, dia masih enggan beranjak dari ruko tempatnya membuka usaha, di Kawasan Cipinang Muara, Jakarta Timur. Sembari rebahan, jemari Reyhan mulai sibuk menari-nari di atas layar ponsel yang digenggamnya. Bukan. Dia bukan sedang bermain mobile legend (ML) atau memesan makan siang lewat layanan antar ojek online (ojol). Yang sedang dilakukan Reyhan adalah membuka rekening baru Digibank, produk digital banking milik Bank DBS Indonesia.
Tak sampai satu jam, ada seorang petugas berkemeja rapi datang menghampiri. "Silakan masuk," ujar Reyhan. Lelaki itu adalah petugas lapangan DBS yang sengaja mendatangi calon nasabah secara langsung untuk melakukan berbagai prosedur pembukaan rekening baru sebagaimana diatur dalam prinsip Know Your Customer (KYC) yang telah dtentukan oleh otoritas/regulator.
Baca Juga: Perbankan dalam Pembiayaan Iklim: Antara Prestasi dan Rapor Merah
Proses janjian antara Reyhan dengan petugas itu sama persis dengan cara yang digunakan ojek online dalam berinteraksi dengan pelanggannya. Berikutnya, beragam berkas identitas diri seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) cukup difoto menggunakan ponsel si petugas. Tanda tangan calon nasabah pun dibubuhkan lewat ponsel menggunakan stylus pen. Hanya dalam waktu kurang dari 10 menit saja, semua proses telah usai dan Reyhan pun sudah memiliki rekening barunya.
Pembukaan rekening baru dengan sistem "jemput bola" seperti yang dilakukan DBS merupakan salah satu pioneer produk rekening digital di pasar perbankan Indonesia. Bersama Jenius yang juga dikeluarkan oleh PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN), kedua produk itu bahkan bisa dianggap menjadi salah satu alasan awal bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga pada Agustus 2018 lalu merasa perlu menerbitkan Peraturan Nomor 12/POJK.03/2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum.
"Kalau soal electronic channel saat ini sudah ada 80 bank, dan itu bentuknya digital banking. Tapi yang sudah benar-benar menerapkan secara menyeluruh memang baru dua, yaitu dari BTPN dan DBS. Beberapa masih proses. Ini yang akan terus kami dorong," ujar Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK, Antonius Hari, beberapa saat usai penerbitan.
Dan benar saja. Sejak saat itu, satu per satu perbankan besar mulai mengikuti jejak DBS dan BTPN dengan meluncurkan rekening digitalnya masing-masing. Sebut saja PT Bank Central Asia Tbk (BCA), PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) dan PT Bank CIMB NIaga Tbk, kini tengah getol memperkenalkan produk rekening digitalnya di masyarakat. Sasarannya tentu saja kalangan masyarakat kekinian yang lebih akrab disebut sebagai generasi milenial.
"Sebagian besar nasabah yang membuka rekening digital, itu sekitar 80 persen dari total pembukaan rekening digital, adalah datang dari kalangan milenial," ujar Kepala Divisi Product Management BNI, Donny Bima, awal bulan ini.
Prudensialitas
Dengan telah dilengkapi oleh peraturan OJK terbaru, penggunaan produk rekening digital di masyarakat menjadi kian familiar. Kini, seperti halnya yang dilakukan oleh Reyhan, proses pembukaan rekening bank bisa dilakukan dengan jauh lebih mudah dan nyaman. Nasabah tidak perlu lagi secara fisik datang ke bank dan lalu mengisi belasan lembar form secara manual dengan deretan pertanyaan rumit dan menyelidik. Semua proses kini dibuat semudah dan sesimpel mungkin, dengan waktu proses yang relatif sangat singkat.
Namun, dengan sekian lompatan kemudahan yang telah terjadi, pertanyaan mendasar kembali muncul terkait permasalahan keamanan alias prudensialitas yang selama ini telah menjadi "jargon" sekaligus kekuatan utama perbankan dibanding lembaga-lembaga jasa keuangan lain.
"Karena sebenarnya form bertumpuk yang harus kita isi saat membuka rekening itu gunanya untuk apa sih? Saya yakin customer service yang melayani kita juga kalau boleh memilih juga nggak mau berlama-lama melayani satu calon nasabah. Lalu apa pentingnya? Jawabannya ya hanya satu: faktor keamanan," ujar Co-Founder sekaligus Chief Technology Officer (CTO) Nodeflux, Faris Rahman, saat ditemui di kantornya, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Karenanya, dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada saat ini, tantangan yang ada menurut Faris tidak hanya semata-mata mempercepat proses atau memangkas sekian prosedur yang tadinya berlapis menjadi lebih simpel. Yang perlu dilakukan dalam pandangan Faris bukanlah memangkas prosedur yang ada, melainkan memindahkannya dari semula dikerjakan secara manual oleh manusia menjadi dikerjakan oleh komputer secara digital sehingga bisa berjalan secara cepat dan bersifat massif.
"Jadi, kita mendelegasikan tugas-tugas yang selama ini dikerjakan oleh karyawan bank itu ke sistem teknologi digital. Kita bikin kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) lalu kita suplai dia dengan pasokan data atau pengetahuan sebanyak-banyaknya agar teknologi ini bisa bekerja seperti halnya kita," tutur Faris.
Baca Juga: Mudahkan Bank, Tiga Regulator Integrasikan Pelaporan Perbankan
Atas dasar gagasan itulah, menurut Faris, dirinya bersama tim yang ada di Nodeflux tertantang untuk mengembangkan teknologi Face Recognition (FR) berbasis vision AI, input dan analitic AI di bawah naungan VisionAIre. Proyek pengembangan ini sejalan dengan posisi Nodeflux yang selama ini masih menjadi perusahaan vision AI pertama dan terbesar di Indonesia.
Khusus untuk menyasar sektor perbankan, Nodeflux telah menyiapkan platform VisionAIre Know Your Customer (KYC) yang diyakini dapat sangat membantu dalam mendongkrak otomasi proses verifikasi perbankan di Indonesia. "Lewat platform VisionAIre KYC ini, kami ingin menghadirkan teknologi Vision AI dengan kemampuan analitik FR untuk dapat memverifikasi data e-KYC dan sistem otentikasi nasabah secara lebih cepat dan akurat," ungkap Faris.
Pengakuan
Dengan inovasinya yang nyleneh di bidang perbankan tersebut, Nodeflux pun kebanjiran apresiasi dari berbagai pihak. Ernst & Young, misalnya, menyebut bahwa terobosan soal otomasi verifikasi data via e-KYC merupakan lompatan cukup penting bagi industri perbankan. Hal itu lantaran dengan adanya e-KYC, dengan sendirinya menjawab salah satu persoalan krusial di perbankan yaitu masalah akurasi data dan juga efisiensi waktu pelayanan terhadap nasabah.
Berbeda dengan sistem konvensional yang mengharuskan petugas bank untuk melakukan verifikasi data nasabah secara manual, lewat e-KYC nasabah hanya perlu memindai dokumen pengenal dan fotonya untuk dapat terverifikasi otomatis secara sistem. Dengan pendekatan baru itu, Ernst & Young memperkirakan proses verifikasi data yang semual membutuhkan waktu setidaknya sekitar 18 menit, dengan menggunakan e-KYC besutan Nodeflux proses verifikasi data hanya membutuhkan waktu tak lebih dari satu menit saja.
Jika Ernst & Young lebih menyoroti soal kecepatan layanan verifikasi data, dilibatkannya Nodeflux sebagai bagian dari penyelenggara International Monetary Fund (IMF) and World Bank (WB) Annual Meeting di Bali pada Oktober 2018 lalu dengan sendirinya juga merupakan pengakuan atas prudentialitas sistem yang dimiliki oleh Nodeflux. Pasalnya dalam event internasional tersebut, Nodeflux dipercaya sebagai penyedia teknologi face recognition untuk sistem pengamanan acara yang dihadiri oleh berbagai tokoh besar dunia dan sedikitnya 3.500 delegasi dari 189 negara anggota. Tak hanya itu, Nodeflux juga menyediakan software License Plate Recognition (LPR) sebagai alat deteksi pelat-pelat kendaraan yang hilir-mudik di lokasi sekitar penyelenggaraan acara.
Atas kemampuannya di bidang AI itu, Nodeflux diundang sebagai salah satu dari 200-an lebih pembicara dalam World Summit AI, yang digelar di Amsterdam, Belanda, pada awal Oktober lalu. Terbaru, Nodeflux juga dipercaya sebagai pembicara resmi dalam Forum Pameran Teknologi Dunia, CeBIT, di Australia, akhir bulan ini.
Yang paling fenomenal adalah keberhasilan Nodeflux menembus peringkat ke-25 dari 90 perusahaan AI terkemuka di dunia dalam hal penilaian algoritma pemrograman pada Face Recognition Vendor Test (FRVT) 2019 oleh National Institute of Standards and Technology (NIST). Didirikan sejak 1901 silam, NIST merupakan lembaga standardisasi sekaligus salah satu laboratorium bidang sains dan Teknik tertua di Amerika Serikat (AS).
"Dengan capaian (peringkat ke-25) itu, mereka menilai bahwa sistem algoritma yang kami pakai dalam teknologi yang kami bangun itu sangat kuat dalam hal sekuritisasi. Artinya bahwa sistem yang kami buat sangat lah aman, bahkan menurut standar pemerintah AS," papar Faris.
SATU Indonesia
Dengan deretan apresiasi dan prestasi dari dalam dan luar negeri yang telah dicapai, rasanya tak berlebihan pula bila PT Astra International Tbk juga menobatkan Faris Rahman bersama Nodeflux yang didirikan bersama rekannya, Meidy Fitranto, sebagai salah satu penerima apresiasi Semangat Astra Terpadu untuk (SATU) Indonesia Award Tahun 2018 lalu.
Faris dinobatkan sebagai penerima award di bidang teknologi, di mana kiprahnya bersama Nodeflux dianggap sangat pantas untuk dijadikan tauladan sekaligus inspirasi bagi seluruh generasi muda Indonesia untuk dapat berkarya semaksimal mungkin lewat passion-nya demi memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat luas.
Baca Juga: Pertama Hadir di Indonesia, Mampukah Nodeflux Sehebat CCTV Luar Negeri?
Inovasi-inovasi baru seperti halnya yang telah dilakukan oleh Nodeflux dengan teknologi Face Recognition (FR) diyakini memang merupakan hal yang paling dibutuhkan industri perbankan ke depan. Hal ini bila didasarkan pada fakta bahwa jenis transaksi perbankan via offline lewat mesin ATM dan kantor cabang yang terus menyusut, tergantikan oleh jenis transaksi online lewat gadget nasabah masing-masing.
"(Perubahan) Itu sangat kami rasakan. Di BCA sendiri, misalnya, kalau dulu transaksi di kantor cabang bisa mencapai 17 persen, kini hanya tersisa 1,8 persen saja. Transaksi di ATM juga dari semula 71 persen kini menyusut drastis menjadi hanya 17 persen. Sebaliknya, transaksi online terus berkembang dan kini sudah mencapai 75 persen atau mencapai ¾ dari total transaksi kami," ujar Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja, dalam kesempatan terpisah.
Pengamat Digital Technology, Heru Sutadi, menyatakan bahwa berbagai produk kemajuan teknologi seperti blockchain hingga Face Recognition (FR) memang sudah waktunya untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin guna membantu kinerja di berbagai sektor industri. Tak terkecuali di bidang perbankan yang selama ini identik dengan layanan transaksi keuangan dengan standar keamanan tingkat tinggi. Satu hal yang menjadi poin utama dalam pemanfaatan Face Recognition (FR) dalam pandangan Heru adalah soal keamanan data.
"Jadi, intinya bagaimana agar sebisa mungkin data nasabah itu dapat terlindungi. Baik itu lewat cara manual maupun digital, keamanan data adalah yang utama. Dan dengan kemajuan teknologi saat ini, pemanfaatan FR menurut Saya bukan hanya soal otomasi dan percepatan transaksi, melainkan juga meningkatkan faktor keamanan karena data wajah itu kan sangat otentik," tegas pria yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute ini.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Taufan Sukma
Editor: Puri Mei Setyaningrum