Selama dua tahun terakhir, industri sawit Indonesia telah menghadapi dinamika pasar global yang cukup ekstrem dan dinilai kurang menguntungkan. Tren penurunan harga yang terjadi mengakibatkan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dunia pada periode Juli 2019 sempat menyentuh level terendah seharga US$477,5 per MT.
Instrumen pajak ekspor meliputi bea keluar dan pungutan ekspor yang diberlakukan terhadap minyak sawit harus dihapuskan karena harganya berada di bawah threshold price.
Tidak hanya itu, black campaign dari Uni Eropa melalui draf kebijakan RED II ILUC menyatakan bahwa UE akan melakukan phase-out terhadap minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel.
Baca Juga: B30 di Mata Pekebun Sawit, Bagaimana?
Minyak sawit yang dianggap berkontribusi terhadap deforestasi, emisi, dan biodiversity loss hutan hujan tropis menjadi isu negatif sawit Indonesia hingga akhir 2019. Diskriminasi kebijakan tarif impor sawit Indonesia dan Malaysia oleh India juga dianggap sebagai hambatan perdagangan minyak sawit.
Sentimen negatif terhadap sawit tidak hanya berasal dari pasar global, tetapi juga dari pasar domestik. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan pada Agustus–September lalu menjadi momentum yang menyudutkan industri sawit nasional.
Isu yang berkembang pada berbagai platform media sosial menyebutkan bahwa karhutla dan bencana asap yang terjadi diakibatkan oleh pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit.
Mengutip PASPI, produksi minyak sawit dunia diperkirakan mengalami peningkatan dari 76,7 juta ton pada 2019 menjadi 78,2 juta ton pada 2020. Namun, pertumbuhan produksi minyak sawit dari dua negara raksasa produsen sawit dunia mengalami penurunan.
Pertumbuhan produksi minyak sawit Indonesia periode 2018–2019 sebesar 6,1% dan akan kembali mengalami penurunan produksi menjadi 4,2% pada periode 2019–2020. Begitu pun dengan pertumbuhan produksi minyak sawit Malaysia yang mengalami penurunan dari 2,7% pada periode 2018–2019 menjadi 2,5% pada 2019–2020.
Beberapa faktor yang diindikasi menjadi penyebab penurunan pertumbuhan produksi tersebut di antaranya pertama, fenomena alam El Nino yang terjadi di kawasan Asia Tenggara pada Q3 hingga Q4 tahun lalu. Kedua, terbatasnya penggunaan pupuk pada tanaman kelapa sawit oleh pekebun sawit rakyat.
Ketiga, lambannya perjalanan replanting kebun sawit rakyat menyebabkan persentase tanaman sawit yang memasuki masa uzur relatif banyak. Keempat, implementasi kebijakan moratorium pembukaan lahan sawit baru di Indonesia juga turut memengaruhi produksi minyak sawit.
Di sisi lain, permintaan CPO dunia diprediksi mengalami peningkatan dari 78,2 juta ton di 2019 menjadi 80–81 juta ton pada 2020. Implementasi kebijakan mandatori biodiesel sawit yang dilakukan di Indonesia (B30), Malaysia (B20), dan Thailand (B10); dampak trade war China-AS; serta mewabahnya african swine fever (ASF) di China sehingga minyak kedelai (soybean oil/SBO) tersubstitusikan oleh CPO diperkirakan akan mendorong konsumsi sehingga meningkatkan permintaan minyak sawit dunia dari negara-negara importir.
Data Oil World mencatat, pangsa penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel dunia mencapai 33% selama periode 2015–2019.
Baca Juga: Say No To Benih Sawit Ilegitim!
Pertumbuhan produksi CPO dunia yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan konsumsinya berimplikasi pada menipisnya stok CPO di pasar global yang diperkirakan hanya 2–3 juta ton pada September 2020 mendatang.
Harga CPO CIF Rotterdam diprediksi menguat hingga 16% pada periode Januari–Juni 2020. Kondisi ini diharapkan akan kembali menggairahkan dan menjadi keberuntungan baru bagi industri sawit nasional sehingga peningkatan profit bagi stakeholders yang terlibat akan semakin nyata.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti