Kebebasan pers di Indonesia lahir setelah Orde Baru tumbang pada 1998 dan munculnya pasal 28 F UUD 1945, melalui amandemen kedua, yang berbunyi: setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran yang tersedia.
Kebebasan pers kemudian ditegaskan lagi lewat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Bacharuddin Jusuf Habibie mengambil andil besar dalam mewujudkan kebebasan pers di Indonesia. Saat menjabat Presiden ke-3 RI, Habibie mengesahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Mustahil kita bisa berbicara tentang demokrasi jika pers masih terkekang," ungkap Agung Susatyo, Direktur Voice of Indonesia, dalam Gelar Wicara Diplomatic Forum dengan tema Freedom of the Press, A Tribute to BJ Habibie di Auditorium Jusuf Ronodipuro, Gedung RRI Jakarta, Rabu (26/02/2020).
Baca Juga: Pers Berkualitas Harus Jadi Penghangat dan Peredam Pilkada Serentak
Menurut Agung, Habibie telah mengambil langkah penting dalam mendorong proses demokratisasi di Indonesia. Peran pers sebagai pilar demokrasi terus mendapat tantangan. Peningkatan indeks kebebasan pers, tekanan terhadap awal media hingga munculnya fenomena hoaks kerap muncul di permukaan. Tantangan itu harus dijawab bersama oleh semua pihak, baik media, pemerintah, dan masyarakat.
"Warisan dari Pak Habibie dalam bentuk kebebasan pers ini harus kita rawat dan kita pelihara. Tantangan itu akan terus ada, tapi kita harus mampu menjawabnya," tegas Agung.
Baharuddin Jusuf Habibie wafat pada 11 September 2019 lalu. Habibie meninggalkan warisan besar bagi kemajuan demokrasi Indonesia dalam bentuk kebebasan pers. Jasa ini akan senantiasa menjadi kenangan manis bagi bangsa Indonesia.
Gelar Wicara digelar oleh Voice of Indonesia bekerja sama dengan Dompet Dhuafa Republika untuk menghormati jasa BJ Habibie sebagai Bapak Kebebasan Pers Indonesia.
Diplomatic Forum akan menampilkan pembicara, yaitu Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informartika Niken Widiastuti, Duta Besar Jerman untuk Indonesia Dr Peter Schoof, Kepala Media dan Komunikasi Kedutaan Besar Inggris di Jakarta John Nickell, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Atal Sembiring, dan Pemimpin Redaksi Republika Irfan Junaidi.
Baca Juga: Ratapan Korban Banjir ke Gubernur: Gak Ada Peringatan Dini, Sama Sekali
Imam Rulyawan, Direktur Utama Dompet Dhuafa, menambahkan, Dompet Dhuafa sendiri lahir dari media dengan gelontoran dana dari Republika, sebagai sebuah lembaga sosial berdedikasi kemanusiaan. Lembaga itu mengajak jurnalis tak hanya mengatakan dan memberitakan, tapi juga mengikhlaskan rezeki untuk program pengentasan kemiskinan.
"Kebebasan pers juga menyosialisasikan nilai kemanusiaan sebagai filantropi, pembangunan berkelanjutan, dan lain-lain," ujar Imam.
Sifat yang bisa diteladani dari sosok Habibie sendiri adalah mau dikritik. Berkat sifat itulah kebebasan pers lahir.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: