Save Our Sea: Menunggu Peran Seniman Kembangkan Desa Wisata Budaya
Oleh: Dwi Mukti Wibowo, Pemerhati masalah ekonomi, sosial, dan kemanusiaan
Daya Tarik Wisata Budaya
Menurut UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
Keadaan alam, flora, dan fauna, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, serta peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni, dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Menurut Yoeti (2006), daya tarik wisata dibagi menjadi empat bagian yaitu (1) daya tarik wisata alam yang meliputi pemandangan alam, laut, pantai, dan pemandangan alam lainnya. (2) Daya tarik wisata dalam bentuk bangunan yang meliputi bangunan bersejarah dan modern, monumen, peninggalan arkeologi, lapangan golf, toko, dan tempat perbelanjaan lainnya.
Baca Juga: Save Our Sea: Melestarikan Mangrove, Mencegah Abrasi Pantai
(3) Daya tarik wisata budaya yang meliputi sejarah, agama, seni, teater, hiburan, dan museum. (4) Daya tarik wisata sosial yang meliputi cara hidup masyarakat setempat, bahasa, kegiatan sosial masyarakat, fasilitas, dan pelayanan masyarakat. Daya tarik wisata juga harus memiliki komponen aksesibilitas dan amenitas (Damanik dan Weber, 2006).
Aksesibilitas mencakup sarana dan prasarana transportasi yang menghubungkan daya tarik wisata yang satu dengan lainnya di daerah tujuan wisata mulai dari transportasi darat, laut, dan udara. Aksesibilitas juga mencakup peraturan atau regulasi pemerintah yang mengatur rute dan tarif angkutan. Amenitas adalah insfrastruktur yang menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan seperti fasilitas akomodasi, restoran, bank, penukaran uang, telekomunikasi, usaha penyewaan (rental), olahraga, informasi, dan lain sebagainya.
Menurut Damanik dan Weber (2006), daya tarik wisata budaya yang baik sangat terkait dengan empat hal, yaitu memiliki keunikan, originalitas, otentisitas, dan keragaman. Keunikan diartikan sebagai kombinasi kelangkaan dan kekhasan yang melekat pada suatu daya tarik wisata.
Originalitas mencerminkan keaslian atau kemurnian seberapa jauh produk tidak terkontaminasi atau tidak mengadopsi nilai yang berbeda dengan nilai aslinya. Otentisitas lebih sering dikaitkan dengan tingkat keantikan atau eksotisme budaya sebagai daya tarik wisata. Otentisitas merupakan kategori nilai yang memadukan sifat alamiah, eksotis, dan bersahaja.
Tahapan Desa Wisata Budaya
Perkembangan desa wisata sebagai sebuah produk wisata dapat dikategorikan ke dalam tiga tahapan yaitu berpotensi, berkembang, dan maju. Berpotensi dicirikan masih berupa potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi destinasi wisata; pengembangan sarana dan prasarana wisata masih terbatas; belum ada/masih sedikit wisatawan yang berkunjung; kesadaran masyarakat terhadap potensi wisata belum tumbuh/masih rendah.
Berkembang dicirikan sudah dikenal dan dikunjungi wisatawan; sudah terdapat pengembangan sarana prasarana dan fasilitas pariwisata; sudah mulai tercipta lapangan pekerjaan dan aktivitas ekonomi bagi masyarakat setempat; kesadaran masyarakat terhadap potensi wisata sudah mulai tumbuh; masih memerlukan pendampingan dari pihak terkait (pemerintah atau swasta).
Maju dicirikan masyarakat sudah sepenuhnya sadar akan potensi wisata termasuk pengembangannya; sudah menjadi destinasi wisata yang dikenal dan banyak dikunjungi oleh wisatawan; sarana dan prasarana serta fasilitas pariwisata sudah memadai; masyarakat sudah mandiri dan mampu mengelola usaha pariwisata secara swadaya (SDM, produk organisasi, dsb); mampu melakukan promosi dan pemasaran secara swadaya serta mengembangkan jaringan kerja sama dengan pihak luar; dapat menjadi model percontohan bagi pengembangan desa-desa wisata lainnya.
Pengembangan Desa Wisata Budaya
Dalam pengembangan desa wisata budaya, terdapat beberapa hal penting untuk diperhatikan, yaitu produk wisata, sikap dan nilai (attitudes and values), konservasi dan daya dukung (conservation dan carrying capacity), promosi/pemasaran yang fokus dan selektif investasi yang berorientasi pada aset lokal.
Pengembangan produk wisata berdasarkan pada (1) keaslian (authenticity). Wisatawan selalu mencari authenticity experience atau pengalaman yang asli atau otentik. Pengalaman yang otentik ini didapatkan dari warisan budaya yang dijaga dan dilestarikan secara turun-menurun oleh suatu masyarakat di suatu destinasi. Pengembangan desa wisata yang sifatnya otentik adalah menjaga tradisi kelokalan, sikap sehari-hari, nilai-nilai budaya serta fitur alam yang unik dari suatu desa.
Baca Juga: Save Our Sea: Potensi Kapal Karam, Musibah yang Jadi Berkah
(2) Tradisi masyarakat setempat (local tradition). Tradisi merupakan sesuatu yang berakar dan melekat dengan kehidupan masyarakat di suatu daerah yang menjadi ciri atau karakter budaya yang dipelihara dari waktu ke waktu. Tradisi harus tetap dijaga dan dilestarikan karena selain menjaga identitas suatu masyarakat, tradisi yang kuat juga menjadi perhatian dan daya tarik sendiri bagi wisatawan.
Tradisi masyarakat dapat berupa kearifan lokal, adat istiadat, kesenian musik maupun seni tari, pakaian adat, serta makanan khas dari suatu desa wisata.
Sikap dan nilai suatu kebudayaan perlu dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat untuk menghindari degradasi nilai akibat pengaruh buruk yang ditimbulkan dari kunjungan wisatawan. Apabila wisatawan menghargai sikap dan nilai warisan budaya serta pola kehidupan suatu masyarakat maka masyarakat tersebut akan memiliki rasa kebanggaan tersendiri terhadap warisan budayanya. Hal ini akan membuat masyarakat menjaga, mempertahankan, dan melestarikan warisan budaya mereka.
Desa wisata yang memiliki masyarakat dengan sikap dan nilai-nilai yang baik akan membuat citra yang baik pula bagi desa wisata. Sikap dan nilai yang baik dapat ditunjukan dengan perilaku yang baik, ramah terhadap wisatawan, dan tegas terhadap aturan-aturan yang dipegang.
Pengembangan desa wisata harus menerapkan prinsip-prinsip pelestarian serta mendukung lingkungan. Hal ini penting agar dengan berjalannya pembangunan pariwisata, kapasitas maksimum daya dukung (carrying capacity) dari suatu destinasi dalam menyokong kebutuhan berbagai pemanfaatan tidak akan merusak alam, budaya, maupun lingkungan. Dalam pengelolaan desa wisata, upaya konservasi dapat dilakukan dengan pengaturan pola kunjungan, zonasi kawasan, serta penetapan daya dukung fisik (lingkungan) dan nonfisik (budaya dan masyarakat).
Karakter kegiatan wisata desa pesisir sebagai bentuk wisata alternatif, menuntut pengembangan strategi promosi dan pemasaran yang lebih terfokus dan selektif dengan kombinasi promosi online (media digital, elektronik) maupun offline (roadshow, famtrip).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: