Dasar hukum dari solusi tersebut sangat kuat. Selain UU dan peraturan perundangan di bawahnya, secara spesifik solusi tersebut merujuk pada Perpres Nomor 111 Tahun 2013 pasal 25 ayat 1 huruf j. Pasal itu berbunyi: Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin meliputi: j. gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri.
Menurut Dradjad, merokok termasuk ke dalam kategori butir j. Karena itu, seharusnya penyakit akibat merokok tidak dijamin pelayanan kesehatan (yankes)-nya. Faktanya, yankes karena penyakit ini justru banyak menyedot dana BPJS.
"Saya pribadi tidak mempunyai estimasinya. Tapi, berbagai pihak menyebut angka 20-30 persen," kata Dradjad.
Perokok yang sakit, menurut Dradjad, seharusnya tidak dijamin oleh BPJS sehingga mereka perlu dibebani sebuah premi atas setiap batang rokok yang mereka konsumsi. Premi ini ditambahkan langsung ke harga rokok dan dibayarkan ke perusahaan asuransi BUMN, dalam hal ini Jiwasraya. Pasalnya, premi ini bisa dilihat sebagai sebuah 'asuransi' yang memenuhi bidang kerja Jiwasraya.
"Kenapa tidak langsung ke BPJS? Karena kita harus memegang teguh prinsip bahwa BPJS tidak menjamin yankes bagi penyakit akibat merokok," kata politikus senior PAN ini.
Karena itu, Dradjad melanjutkan, jika perokok sakit, yankesnya dibebankan ke premi ini. Perokok tidak menggerogoti BPJS. Namun, jika sakit, mereka sudah mempunyai 'asuransi'.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti