Ekonom Indef, Dradjad, melihat pemerintah perlu realistis dalam persoalan BPJS Kesehatan. Pemerintah harus membebani perokok dengan premi tersendiri.
Dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, yang ditetapkan dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019, menurut Dradjad, berarti sudah dua kali kenaikan iuran yang ditetapkan oleh presiden dibatalkan oleh lembaga negara yang lain. Sebelumnya, kenaikan iuran sebesar 30 persen yang ditetapkan dalam Perpres Nomor 19 Tahun 2016 ditolak oleh DPR.
"Lengkap sudah. Rakyat banyak menentang. Lembaga legislatif menolak. Sekarang MA sebagai lembaga pengemban kekuasaan yudikatif tertinggi juga membatalkan," kata Dradjad, Selasa (10/3).
Baca Juga: Buntung, Pemerintah Terpaksa Putar-putar Otak Tambal Defisit BPJS Kesehatan
Sebenarnya, ada solusi lain untuk mengatasi defisit BPJS tanpa harus menaikkan iuran dan tidak membebani APBN. Menurut Dradjad, hal ini sebenarnya juga sudah dibahas kabinet periode lalu dan lingkaran Istana Presiden. "Itu sebabnya di berbagai acara live di TV saya katakan ada solusi," kata mantan ketua DISK BIN ini.
Bukan hanya itu, Dradjad melanjutkan, solusi ini juga bisa dijadikan bagian dari cara mengatasi ambruknya keuangan Jiwasraya.
Dradjad mengatakan, tidak etis kalau dia mengungkapkan secara terperinci proses pembahasan solusi tersebut. "Ini karena saya pernah menjadi ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan (DISK) BIN di bawah Kepala BIN Sutiyoso," kata dia.
Namun, Dradjad menyampaikan bahwa solusi tersebut didasari premis bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan ditolak rakyat secara luas. Sekarang premis tadi terbukti.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti