Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghargai kritikan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut 100 hari kerja lembaga antirasuah di bawah komando Firli Bahuri. Menurut KPK, kritikan dari ICW didasari atas dasar cinta.
"ICW mengkritik dan menilai kerja KPK saat ini kami yakini karena atas dasar cinta KPK dan pemberantasan korupsi di negeri ini," kata Plt Jubir KPK, Ali Fikri dalam pesan singkatnya, Selasa (24/3/2020).
Baca Juga: Kinerja KPK Merosot, ICW Teriak: Firli, Mundur dari KPK!
Tepat pada pekan ini genap 100 hari lima Komisioner KPK terpilih. ICW menilai, terlalu banyak kontroversi yang dihasilkan menyebabkan kepercayaan publik terhadap KPK turun drastis.
Menurut KPK, kritik, saran dan masukan yang disampaikan oleh pihak manapun termasuk dari ICW sebagai perbaikan kerja mendatang. KPK, kata Ali, akan terus berikhtiar dan berkarya semaksimal mungkin bersama penegak hukum lain dan masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
"Agar negeri yang kita cintai bersama ini terbebas dari korupsi," ucapnya.
Selama 100 hari menjabat sebagai Pimpinan KPK, ICW mencatat 7 kontroversi publik yang timbul. Pertama, gagal menangkap buronan. Sebagaimana diketahui bahwa dua buronan KPK saaat ini tak kunjung bisa ditangkap, yakni Harun Masiku dan Nurhadi.
Padahal, rekam jejak lembaga antirasuah selama ini dikenal cepat dalam menemukan pelaku korupsi yang melarikan diri. Sebagai contoh, mantan bendahara Partai Demokrat M Nazarudin dalam waktu 77 hari dapat ditangkap KPK di Kolombia.
Kedua, Komisioner KPK tidak memberikan informasi yang transparan terkait penanganan perkara kepada publik. Hal ini bisa dilihat pada kejadian dugaan penyekapan penyidik KPK di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) saat mengejar Harun Masiku sebelum menjadi buron.
Sampai saat ini tidak ada satupun Komisioner KPK yang memberikan informasi yang utuh dan jujur tentang kejadian tersebut. Bahkan, saat rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI, Ketua KPK menolak memberikan jawaban ketika ditanya tentang kejadian di PTIK.
Ketiga, Komisioner KPK terlihat bertindak sewenang-wenang terhadap pegawainya sendiri. Bukti konkret atas tindakan ini dapat dilihat ketika Penyidik KPK, Kompol Rossa, diberhentikan tanpa melalui mekanisme yang jelas.
Padahal, yang bersangkutan sedang menangani perkara dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan mantan calon anggota legislatif PDIP Harun Masiku. Tak hanya itu, masa tugas Kompol Rossa pun baru berakhir pada September mendatang dan ia juga tidak pernah dijatuhi sanksi apapun di KPK.
Keempat, Komisioner KPK berniat memotong kompas proses hukum atas Harun Masiku untuk menutupi kelemahan mereka dalam mencari tersangka tersebut. Alih-alih serius mencari yang bersangkutan, Pimpinan KPK malah mendorong persidangan secara in absentia terhadap Harun Masiku. Memang secara yuridis hal itu dimungkinkan berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU Tipikor.
Akan tetapi, jika dilihat lebih detail pada bagian penjelasan maka niat dari Komisioner KPK itu keliru. Sebab, metode menyidangkan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa hanya dimungkinkan ketika terkait langsung dengan kerugian negara. Sedangkan perkara yang menjerat Harun Masiku merupakan tindak pidana suap.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto