Perkebunan sawit rakyat yang tumbuh berdampingan dengan korporasi (negara dan swasta) menjadi keunikan tersendiri dalam sejarah panjang perkembangan perkebunan sawit di Indonesia. Kondisi tersebut dapat terjadi sebagai bagian dari implementasi kebijakan kemitraan oleh pemerintah Indonesia yang melibatkan korporasi perkebunan dan rakyat.
Pola kemitraan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Transmigrasi merupakan salah satu pola kemitraan sawit yang sudah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebijakan pemerintah yang telah berlangsung sejak 1986 lalu.
Awalnya, kebijakan PIR-Trans ini dilaksanakan di 11 provinsi di Indonesia dan berhasil mengembangkan perkebunan sawit baru sekitar 566 ribu hektare yang terdiri dari 70% kebun plasma dan 30% kebun inti.
Baca Juga: CPO Oh CPO… Ayolah!
Parjan, pria paruh baya berusia 55 tahun, adalah salah satu bukti keberhasilan pekebun sawit dengan pola kemitraan PIR-Trans. Parjan berasal dari Sragen, Jawa Tengah, tetapi akhirnya memutuskan untuk mengikuti program transmigrasi ke Riau dari pemerintah sejak 1987.
Awalnya, lahan seluas 2,5 hektare yang diberikan oleh pemerintah kepada warga transmigran, termasuk Parjan, hanya ditanami jagung dan singkong. Namun pada 1991, pemerintah mengadakan program konversi lahan untuk dijadikan perkebunan sawit dalam pola PIR-Trans.
Melalui pola kemitraan tersebut, kemampuan finansial petani yang terbatas, rendahnya pengetahuan petani hingga aspek teknis lainnya sebagai kendala utama yang dihadapi petani dapat terkoordinasi dengan baik oleh perusahaan sebagai mitra.
Dengan pola kemitraan ini, warga trans di wilayah tersebut sebagai pemilik lahan mulai mengenal sistem perbankan untuk mendapatkan kredit. Dana sebesar Rp9.025.000 per petani yang didapatkan dari perbankan digunakan seluruhnya untuk pembiayaan membangun kebun sawit.
Asa Parjan dan pekebun sawit pola PIR-Trans lainnya karena telah berhasil memiliki kebun yang baru ditanami sawit tidak berlangsung lama. Sawit yang baru ditanam ternyata menarik perhatian hewan liar seperti gajah dan babi hutan yang masih banyak berkeliaran di daerah tersebut.
Akibatnya, dari 2 hektare lahan yang telah ditanami 286 pohon sawit, hanya tersisa 65 pohon yang masih tegak. Pohon sawit yang telah rusak tersebut kemudian dilakukan penanaman ulang dengan cara disisip. Bahkan, Parjan bersama pihak perusahaan sampai tujuh kali melakukan penyisipan penanaman sawit yakni dari 1991 hingga 2001 akibat dirusak hewan liar yang berkeliaran.
Akibat kebun sawit yang kerap rusak sehingga berdampak terhadap pembayaran kredit pinjaman petani, Parjan yang saat itu menjabat sebagai ketua kerja antarkelompok ikut mendirikan KUD Karya Bersama sebagai wadah bernegosiasi dengan pihak perusahaan maupun pemberi kredit.
Baca Juga: Corona Bikin Industri Sawit Nasional Terombang-ambing
Namun seiring berjalannya waktu, berkat kesabaran, kegigihan, dan kerja keras, perlahan kebun sawit Parjan dan petani lainnya membuahkan hasil. Berawal dari hanya 2 hektare kebun sawit, kini kebun sawit yang dimiliki Parjan telah bertambah luas dengan enam orang pekerja yang membantu kegiatan pemeliharaan dan pemanenan kebun sawitnya.
Dalam satu kapling atau 2 hektare kebun sawit dapat menghasilkan 6 ton tandan buah segar (TBS) atau sekitar Rp2,5 juta per ha. Sedangkan KUD Karya Bersama yang ikut didirikannya, kini juga telah menjelma menjadi koperasi berprestasi hingga tingkat nasional dengan jumlah anggota lebih dari 500 orang dan memiliki aset sekitar Rp7,9 miliar.
Tidak hanya itu, Parjan juga telah berhasil mengantarkan anaknya menempuh pendidikan di perguruan tinggi ternama di Indonesia. Dua unit rumah lengkap dengan kendaraan roda empat juga sudah disiapkan Parjan untuk kedua anaknya. Satu hal yang pasti, semuanya bersumber dari usaha perkebunan kelapa sawit.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: