Konsep Investasi Hijau dipercaya dapat menciptakan harmonisasi kepentingan ekonomi dengan lingkungan menuju pembangunan berkelanjutan. Agar program ini tak berhenti di tengah jalan, masyarakat dilibatkan secara aktif.
Masalah perusakan ozon, yang dulu hanya mengawang dari konferensi ke konferensi, kini mulai membumi. Di Indonesia, pemerintah dan masyarakat tidak lagi bicara soal bagaimana ozon rusak dan siapa yang menjadi biang keladi dari meningkatnya suhu di muka bumi, tapi sudah ada langkah konkret untuk menghentikan perusakan tersebut.
Setidaknya, hal itu terlihat dari semakin banyaknya kebijakan dan program pemerintah yang peduli dengan masalah lingkungan hidup. Bahkan pemerintah juga telah memasukkan perlindungan lingkungan sebagai bagian dari program ekonominya. Program terbaru yang diluncurkan pemerintah adalah konsep investasi hijau atau investasi ramah lingkungan di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Baca Juga: Perangi Efek Corona, Izin Investasi Seluruh Perusahaan Pelat Merah Dipercepat
Konsep ini dipercaya dapat menciptakan harmonisasi kepentingan ekonomi dengan konservasi lingkungan hidup menuju pembangunan berkelanjutan.
"Ini akan menjadi skema yang tepat untuk mempromosikan pembangunan Papua dan Papua Barat," ujar Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, di Forum High Level Meeting on Green Investment Blueprint for Papua and West Papua yang berlangsung di Kota Sorong (27/2/2020).
Seperti diketahui, pembangunan di Papua dan Papua Barat memang cukup pesat beberapa tahun belakangan ini. Terutama didorong oleh pembangunan jalan Trans Papua yang menjadi visi pemerintahan Joko Widodo dalam membangun Indonesia dari pinggiran dan pemerataan hasil pembangunan.
Hingga 2019, jalan Trans Papua segmen I (Sorong-Maybrat-Manokwari sejauh 595 km) sepanjang 550 km sudah beraspal. Sementara segmen II (Manokwari-Mameh-Wasior-Batas sejauh 476 km) juga telah berhasil ditembus.
Hanya saja, pesatnya pembangunan di provinsi paling Timur Indonesia itu telah memunculkan kecemasan baru. Yakni laju deforestasi (penggundulan hutan) yang tidak terkendali. Padahal, seperti kita ketahui, Papua dan Papua Barat memiliki kawasan hutan perawan yang merupakan sarana paling efektif untuk menyerap gas rumah kaca (GRK).
Tak hanya sampai di situ. Laju deforestasi yang tidak terkendali juga akan secara drastis mengurangi keanekaragaman flora, fauna, dan ekosistem. Hal ini dapat membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan potensi keanekaragaman hayati. Padahal, potensi keanekaragaman hayati merupakan sumber daya untuk bahan makanan, serat, bahan pakaian, bahan obat-obatan, bahan mentah industri, dan bahan bangunan.
Oleh sebab itu, menurut Luhut, hutan dan ekosistem Papua dan Papua Barat yang kaya dengan sumber daya alam itu perlu dijaga. Salah satunya dengan menerapkan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada konsep investasi hijau.
"Nanti pemerintah akan memberikan kerangka kebijakannya, sementara pelaku bisnis perlu menyediakan investasi dan dukungan," ujarnya.
Dilihat dari sudut manapun, konsep investasi hijau memang paling cocok dengan kondisi di Papua dan Papua Barat. Soalnya, konsep ini tidak memandang fungsi ekosistem fungsi hutan secara sempit, yakni hanya sebagai menyerap karbon dioksida. Konsep investasi hijau memandang ekosistem hutan yang lebih luas: sebagai tangkapan air, ruang hidup dan perlindungan masyarakat di sekitar kawasan hutan, hingga fungsi sosiokultural yang tidak dapat dipisahkan dari sendi-sendi kehidupan masyarakat setempat.
Masyarakat Harus Terlibat
Karena itu, menurut Luhut, konsep investasi hijau ini sebenarnya juga didedikasikan untuk mendukung kegiatan ekonomi dan sosial dengan melibatkan sebesar-besarnya masyarakat sebagai sumber yang menjaga dan mempertahankan lingkungan.
"Dengan adanya investasi, masyarakat akan memulai kehidupan ekonomi. Perekonomian alam tumbuh dan orang bisa mendapat manfaat sosial darinya," ujarnya.
Hanya saja, Luhut mengingatkan, program ini akan berhasil bila pemangku kepentingan ikut berperan di dalamnya. Oleh karena itu, ia mengajak pemerintah daerah, masyarakat, kelompok adat, kelompok agama, pebisnis lokal, dan organisasi masyarakat sipil terlibat dalam program ini. Penerapan investasi hijau juga harus dimulai dengan menyelaraskan aturan dan penegakan hukum.
Itu sebabnya, saat ini pemerintah terus membangun kesepahaman dengan provinsi dan kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat. Langkah lainnya adalah melakukan pemetaan bidang investasi hijau yang dapat dimasuki investor.
"Melalui pemetaan ini pemerintah akan membuat aturan mengenai sektor-sektor investasi hijau," ujar Bahlil Lahadalia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Untuk tahap awal, konsep investasi hijau baru akan menyasar sektor pertanian, perikanan, dan ekowisata. Di sektor pertanian, misalnya, konsep investasi hijau akan diterapkan pada komoditas andalan ekspor seperti kakao, kopi, pala, dan rumput laut. Sementara budaya serta keindahan alam Papua akan dikemas menjadi komoditi ekowisata.
Untuk menarik inestasi hijau masuk ke Papua dan Papua Barat, pemerintah berencana memberikan insentif berupa keringanan pajak, seperti tax holiday dan tax allowance. Kabarnya, Starbucks, perusahaan kopi asal Amerika, telah menandatangani nota kesepakatan investasi hijau di Papua.
"Ada kebun kopi, kedai-kedai, dan juga ekspor. Ada beberapa tahapan yang sudah dilakukan, tapi nilai investasinya masih dihitung," ujar Bahlil.
Program investasi hijau yang digagas pemerintah sebenarnya cukup sederhana. Yakni, investasi yang dibutuhkan untuk menggerakkan perekonomian harus dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan budaya. Tapi, seperti dikatakan Luhut tadi, ini hanya akan berhasil bila semua pemangku kepentingan terlibat aktif di dalam program ini.
Boks: Dari Papua untuk Dunia
Melindungi bumi dari bahaya pemanasan global sebenarnya tidak sulit. Andai saja semua negara bersedia menurunkan kadar emisi gas rumah kacanya (GRK) sebesar 5,2%, sebagaimana diamanatkan Protokol Kyoto, mungkin suhu bumi tak akan sepanas sekarang. Masalahnya, egoisme ternyata lebih kuat ketimbang menjaga kepentingan bersama.
Faktanya, sejauh ini protokol Kyoto tak manjur memaksa negara-negara maju mengurangi polusi industrinya. Bahkan Amerika sebagai penyumbang emisi karbon terbanyak di dunia, malah berbalik badan dari kesepakatan yang sempat diratifikasinya itu. Negara itu malah cemas, upaya melawan efek GRK justru akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Dalam Conference of Parties (COP) di Denpasar Bali, 12 tahun silam, sebenarnya Indonesia dan sejumlah negara telah meminta perhatian lebih dari negara maju dalam menekan emisi karbon. Ada tiga poin yang ditawarkan, yakni Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD), Forestry Eight (F8), dan Coral Triangle (CTI).
Baca Juga: Pesawat Milik TNI Ditembak di Papua, Siapa Pelakunya?
Sesuai namanya, REDD adalah proposal pengurangan GRK melalui upaya mencegah deforestasi dan kerusakan hutan. Ide dasarnya sederhana, dengan mencegah deforestasi, negara-negara maju yang terikat menurunkan emisinya harus mau memberi imbalan kepada negara-ngara yang bersedia menjaga hutannya. Begitu juga bila berhasil membuka hutan baru atau menanam pohon.
Indonesia menawarakan lokasi hutan di Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua dengan luas 37,5 juta hektare. Bila tiap hektarenya dihargai US$10, maka Indonesia diperkirakan akan mendapat US$37,5 miliar atau sekitar Rp525 triliun setiap tahun.
Meski menjanjikan, konsep REDD ternyata mendapat penolakan dari penggiat lingkungan karena berpotensi memicu persoalan baru yang menjurus pada munculnya konflik sosial masyarakat sekitar hutan. Mereka khawatir, setelah hutan berubah menjadi global common goods, dengan sendirinya akses dan partisipasi masyarakat lokal terhadap hutan akan semakin terbatas.
Berangkat dari kekhawatiran itu, pemerintah kemudian mengusung konsep investasi hijau. Konsep ini dinilai bisa menyelaraskan kepentingan ekonomi dengan kelestarian lingkungan. Dan konsep ini dinilai cocok untuk membangun perekonomian Papua dan Papua Barat. Selain memiliki sumber daya alam yang melimpah, ketergantungan penduduk pada lingkungannya juga masih kuat.
Kita patut bersyukur, upaya memerangi pemanasan global itu ternyata baru dimulai dari provinsi Papua dan Papua Barat. Dan mudah-mudahan banyak perusahaan yang terlibat dalam penyelamatan bumi tersebut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: